Sabtu, 04 Februari 2012

RUDAL

h1

Grom : Rudal Utama Hanud TNI AD

05/09/2011
Rudal Grom Arhanud TNI AD dalam platform peluncur Poprad
Setelah rudal Rapier dipensiunkan oleh TNI AD, maka kemudian Arhanud (artileri pertahanan udara) TNI AD memilih rudal Grom, yakni rudal jenis SHORAD (short range air defence), alias rudal pertahanan udara jarak pendek/SAM (surface to air missile). Sebagai rudal SAM ringan, Grom pertama kali diproduksi pada tahun 1995, dirancang oleh Military Institute of Armament Technology, dan diprodkusi oleh Mesko, Skarżysko-Kamienna, manufaktur senjata asal Polandia.
Dengan berakhirnya masa tugas Rapier pada Juni 2007, secara bertahap Grom mulai memperkuat arsenal arhanud TNI AD. Unit Arhanud TNI AD pertama yang dilengkapi Grom adalah Detasemen Rudal 003 Kodam Jaya, dan kini detasemen rudal Arhanud lain dilingkungan TNI AD sudah berbekal Grom, yakni Detasemen Rudal 001 Kodam Iskandar Muda yang mengamankan area kilang Arun, Detasemen Rudal 002 Kodam Tanjungpura yang mengamankan obyek vital di Bontang, dan Detasemen Rudal 004 Kodam Bukit Barisan yang mengamankan obyek vital di Dumai.
Kobra Modular air defence system
Paket pengadaan rudal Grom mencakup Kobra modular air defence system dari yang terdiri dari battery command vehicle, sistem peluncur rudal Poprad, 3D multi-beam search radar, dan meriam 23-mm/ZUR komposit rudal Grom.
Grom
Rudal Grom berasal dari platform rudal panggul yang bisa dioperasikan secara perorangan. Karena berasal dari Polandia yang merupakan eks sekutu Rusia, basis desain Grom juga diambil dari rudal SAM SA-7 yang sudah lebih dulu kondang. Pertama kali Grom digunakan oleh Angkatan Darat Polandia pada tahun 1995. Dan pada tahun 2007, Polandia menjual beberapa Grom ke beberapa negara, termasuk ke Georgia, negara pecahan Uni Soviet. Georgia membeli 30 peluncur dan lebih dari 100 rudal.
Tampilan rudal Grom, tanpa peluncur
Rudal Grom dalam versi Manpad (panggul)
Pembelian Grom oleh Georgia-lah yang kemudian mengangkat pamor rudal ini, pasalnya Georgia pada tahun 2008 sempat terlibat konflik dengan Rusia dalam perang di wilayah Ossetia Selatan. Dilaporkan selama perang tersebut, 20 helikopter Rusia tertembak oleh Grom. Di medan konflik yang lain, tepatnya pada akhir 2008, pihak Rusia telah menemukan paket rudal Grom yang digunakan oleh pejuang Checknya. Itulah perjalanan tempur rudal Grom yang beberapa kali telah ‘mentas’ di beberapa medan perang di wilayah dingin. Apakah ini yang menjadi dasar pembelian Grom oleh Indonesia?
Secara spesifikasi, Grom mempunyai berat 10,5 Kg, serta berat berikut peluncur mencapai 16,5 Kg. Bobot hulu ledak Grom yakni 1,82 Kg, sedangkan diameter Grom hanya 72 mm dan panjang rudal 1.566 mm. Bagaimana dengan soal jangkauan? Jangkauan tembak Grom horizontal yakni 5.500 meter dan jangkauan tembak vertikal antara 3.000 sampai 4.000 meter, dengan minimal jangakauan tembak 10 meter. Untuk kecepatan, Grom bisa menguber target dengan kecepatan 650 meter per detik. Pihak pabrik menyebutkan, Grom bisa beroperasi pada suhu -35 sampai 50 derajat celcius, jadi secara teori cukup layak digunakan di Indonesia.
Grom berpemandu infrared, sistem penembakan yakni mengusung konsep fire and forget, atau setelah ditembakkan secara otomatis rudal akan mengejar sumber panas sasaran. Secara umum, antara Rapier dan Grom punya kodrat yang sama dalam menguber target, yakni sama-sama mengincar target yang terbang rendah dengan manuver dan kecepatan tinggi.

Peluncur Poprad

Dalam gelar operasinya, Grom milik Arhanud TNI AD dipasang dalam platform peluncur Poprad dan meriam 23-mm/ZUR komposit. Untuk Poprad yang dipakai oleh TNI AD, menggunakan platform jip Defender dari Land Rover. Dalam satu jip tersedia 4 peluncur Grom yang dapat diputar 360 derajat. Dengan adopsi peluncur Grom pada kendaraan berkemampuan off road, diharapkan gelar operasi rudal ini dapat lebih mobile dan fleksibel. Umumnya dalam satu jip peluncur membawa 8 rudal, 4 yang siap tembak, dan sisanya 4 rudal sebagai cadangan.
Peluncur Poprad, dilengkapi beragam sensor canggih
Poprad bisa diadopsi ke berbagai plaform kendaraan tempur
Meski dapat ditembakkan secara terpadu dari Battery Command Vehicle, tapi komponen Poprad dapat beroperasi secara mandiri, dengan dua kru (komandan/operator dan supir), Poprad dapat menguntit target lewat atomatic target tracking (videotracker) dalam kondisi siang dan malam hari. Agar akurat membidik target, Poprad juga dilengkapi teknologi FLIR (forward looking infra red) dan electro optical sensor yang berkemampuan thermal camera plus laser range finder. Untuk menghindari friendly fire, atau salah menembak target, Poprad juga sudah dibekali IFF (identification friend or foe) interrogator.

Meriam 23-mm/ZUR komposit rudal Grom
Untuk unsur yang satu ini, keberadaan rudal Grom ditendemkan pada meriam 23-mm/ZUR. Dalam posisi siap tembak, 2 peluncur Grom ditempatkan pada sisi kanan juru tembak, tentu saja proses isi ulang rudal bakal lebih cepat di sistem meriam ini. Secara umum, meriam 23 mm ini memiliki jangkauan tembak maksimum vertikal 2.000 meter, dan jangkauan tembak horizontal 3.000 meter. Meriam ini diawaki oleh 6 awak, 2 bintara dan 4 tamtama. Dengan konsep komposit/hybrid, amumisi meriam dan rudal dapat ditembakkan ke target secara simultan, hingga mencapai daya hancur yang berlipat.



Battery Command Vehicle
Dalam Kobra modular air defence system, terdapat elemen Battery Command Vehicle dan Mobile Multibeam Search Radar, kedua ditempatkan terpisah dalam platform jip Defender Land Rover. Battery Command Vehicle merupakan kendaraan pos pengendali baterai, perangkat ini mampu mengendalikan hingga 6 pucuk meriam secara serentak. Command Vehicle dipandu dengan alat bidik optronik yang memiliki interface dengan rudal/meriam. Kemampuan deteksi Battery Command mencapai 20 Km, dilengkapi dengan laser range finder, TV camera, dan optical direcetor. Sebagai ‘jantung’ sistem pertahanan modular, Battery Command dapat mengusung 3 sumber energi, yakni dari generator, listrik PLN, dan baterai.
Awak pada Battery Command Vehicle

Mobile Multibeam Search Radar (MMSR)
Bila Battery Command Vehicle berperan sebagai elemen pengendali, Multibeam Search Radar berperan sebagai radar penjejak dan pemantau pergerakan target. Perangkat ini mempunyai jangakauan horizontal hingga 40 – 50 Km, sedangkan jangakau vertikal mulai dari 50 meter – 10.000 meter. Mobile Multibeam Search Radar dapat menampilkan obyek 3 dimensi, perangkat ini diawaki oleh 2 orang. Karena menggunakan platform jip Defender, waktu gelar radar ini bisa dilakukan dengan singkat, waktu siap tempur hanya butuh 4 menit.
Mobile Multibeam Search Radar
Uji Coba Grom di Indonesia
Untuk mengetahui seberapa besar kehandalan alutsista yang dimiliki, TNI AD beberapa kali telah menggelar Grom dalam serangkaian uji coba. Boleh saja Grom berjaya di medam tempur Eropa yang bersuhu dingin, tapi apakah jenis rudal ini juga handal saat dioperasikan di wilayah tropis seperti di Indonesia?
Rangkaian kendaraan tempur pengusung rudal Grom
Uji tembak pertama seluruh meriam dilakukan pada 24-25 Oktober 2007 di lapangan tembak Ciampea – Bogor, oleh instruktur dari Polandia. Uji tembak ini disaksikan langsung oleh Direktur Peralatan TNI AD dan hasilnya meriam dapat beroperasi dengan baik, dan tembakan dapat mengenai sasaran seperti yang diharapkan.
Selanjutnya dilakukan uji tembak yang kedua, berlangsung pada 28 Oktober – 3 November 2007 di lapangan uji tembak senjata berat di Bulus Pesanteren, Kebumen – Jawa Tengah. Titik berat pengujian dilakukan pada rudal Grom yang diintegrasikan dengan Battery Command Vehicle dan MMSR. Uji tembak ini disaksikan oleh pucuk pimpina TNI AD, sasaran tembak yang dipakai adalah pesawat model yang dikendalikan dengan remote control. Hasilnya, dari empat kali penembakkan rudal, sasaran tidak dapat dihancurkan.

Mengenai kegagalan Grom, ada tanggapan dari pihak operator. “Menurut perhitungan, akurasi, dan toleransi terhadap sasaran yang sebenarnya (pesawat udara), sesunghunnya sasaran itu dapat dihancurkan sebelum mendekati obyek vital yang dilindungi,” ujar Serka Sutoyo, Bintara Den Arhanud 003 Kodam Jaya, dikutip dari Majalah Defender, edisi September 2008.
Kemudian ada lagi uji coba rudal Grom pada 4 Mei 2010, dikutip dari Tribunenews.com, ujicoba tiga rudal di perairan Sekerat, Bengalon Kabupaten Kutai Timur,lagi-lagi tidak mengenai target.
Sistem senjata tersebut jenis Grom Komposit Meriam 23 MM Zur 23-2KG-1 yang diperagakan oleh 26 pria Polandia. Disaksikan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI George Toisutta, pejabat TNI AD, pejabat Kodam VI Tanjungpura, juga Muspida Kutim.

Dandim Kutim Letkol Inf Mukhtar menjelaskan, peragaan beberapa elemen sistem persenjataan itu berfungsi secara integral. Adapun rudal yang meleset sedikit dari target atau sasaran karena pengaruh cuaca panas. Menurutnya, sesaat sebelum misil meluncur, komputer melakukan pengecekan terhadap 3 parameter yaitu sistem elektronik misil, jarak sasaran, dan besar suhu sasaran. Bila salah satu parameter tersebut tidak terpenuhi, maka misil tidak akan meluncur ke sasaran. Dalam uji coba, rudal meledak tanpa mengenai target.
Usai peluncuran, pihak pelaksana uji terima menganalisa bahwa faktor yang mengakibatkan luputnya sasaran adalah cuaca panas. “Karena cuaca di Kutim panas, maka misil yang menggunakan detektor suhu bisa jadi luput dari sasaran. Berbeda saat uji coba di Polandia dan Jawa Tengah yang sukses mengenai target” ujar Letkol Muchtar. KSAD Jenderal TNI George Toisutta mengatakan akan membicarakan kembali rencana pembelian rudal ini di Jakarta. Kemungkinan juga akan ada pengujian ulang di Ambal, Jawa Tengah.
Skema gelar Kobra Defence system, terlihat satu sistem radar dapat memasok informasi ke beberapa peluncur Poprad dan meriam 23 mm
Melihat beberapa kali kegagalan Grom dalam uji coba, pertanyaan lalu muncul, apakah Grom adalah alutsista yang cocok untuk Indonesia? Kalau yang menjadi alasan seputar di hawa yang panas, bagaimana dengan gelar operasi Grom saat digunakan di medan perang sesungguhnya, bukankan sebagian besar wilayah/obyek vital berada di area yang panas menyengat, semisal di daerah kilang minyak. Jangan sampai nantinya target sudah terkunci, jutru rudal malah loyo sebelum ditembakkan. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Spesifikasi Rudal Grom
Pabrik : Mesko, Skarżysko-Kamienna – Polandia
Panjang : 1.596 mm
Diameter : 72 mm
Berat rudal : 10,5 Kg
Berat rudal + peluncur : 16,5 Kg
Berat amunisi : 1,82 Kg
Jarak tembak horizontal : 5.500 meter
Jarak tembak vertikal : 4.000 meter
Kecepatan : 650 meter/detik
h1

C-705 : Rudal Pamungkas Andalan Kapal Cepat TNI AL

08/08/2011
Rudal C-705
Pada hari Senin, 25 April 2011, Armada Kawasan Barat (Armabar) TNI AL mendapat tambahan alutsista baru berupa kapal cepat rudal (KCR) tipe 40. Kapal cepat rudal yang diberi nama KRI Clurit (641), tak lain adalah kapal perang buatan dalam negeri yang pertama kali dibangun di PT. Palindo Marine, Batam. Meski kodratnya berupa kapal patroli berukuran kecil, jangan diragukan, KRI Clurit mempunyai kemampuan yang cukup maju. Dengan panjang kapal ‘hanya’ 43 meter, Clurit dipersenjatai kanon kaliber 30 mm, meriam anjungan 20 mm, dan rudal anti kapal C-705.
Jenis senjata yang terakhir disebut, C-705, yang menjadikan KRI Clurit rada spesial dibanding kapal cepat TNI AL lainnya. Sebagai pengingat, jenis KCR FPB-57 baru dipasangi rudal anti kapal C-802, setelah diluncurkan versi FPB-57 NAV-V. Seperti halnya C-802, rudal C-705 juga dibuat di Cina oleh pabrik China Aerospace Science and Industry Corporation (CASIC). C-705 merupakan keluarga seri rudal C-70X, rudal ini merupakan pengembangan dari rudal C-704.
Rudal C-704
Sosok rudal ini masih terbilang baru, pertama kali dimunculkan ke publik pada ajang Zhuhai Airshow ke-7 tahun 2008. Dibanding generasi sebelumnya, C-705 hadir dengan beberapa peningkatan, seperti pada elemen mesin, hulu ledak, dan sistem pemandu. Hingga kini, sumber informasi tentang spesifikasi teknis pada rudal ini masih terbatas, yang jelas C-705 dirancang sebagai rudal yang menawarkan efisien si dalam operasionalnya. Secara umum bisa dikatakan spesifikasinya berada diatas C-704, tapi masih dibawah C-802.
Tampilan buritan KRI Clurit, tampak 2 unit tabung peluncur C-705
C-705 mempunyai jangkauan tembak antara 75-80 Km tanpa roket booster, sedangkan bila ditambahkan roket booster jangkauan bisa terdongkrak hingga 170 Km. Dilihat dari jangkauannya, C-705 bisa disebut pula sebagai rudal lintas cakrawala (over the horizon). Untuk urusan kecepatan, meski tak diketahui persis informasi kecepatan luncurnya, banyak disebutkan C-705 masuk dalam kategori rudal high sub sonic. Tentang bobot rudal juga tak ada keterangan pasti, tapi bobot hulu ledak rudal ini mencapai 110 Kg HVDT-H high explosive, lebih ringan ketimbang hulu ledak C-802, yang 165 Kg High Explosive.
C-705 dilengkapi beragam sistem pemandu
Dengan jangkauan 75 Km, C-705 masuk dalam kategori rudal jelajah anti kapal
Dengan bobot hulu ledak 110 Kg, C-705 dipersiapkan untuk mengkandaskan kapal perang lawan yang berbobot hingga 1.500 ton.Daya hancur yang dihasilkannya bisa mencapai 95,7%, ideal untuk menenggelamkan kapal. Konfigurasi rudal pun di-setting pas untuk dipasangkan pada platform kapal patroli dengan bobot antara 50 – 500 ton. KRI Clurit sendiri memiliki bobot 250 ton, pada KRI Clurit terlihat hanya membawa 2 unit C-705 dalam sekali berlayar.
Sebagaimana rudal anti kapal modern, C-705 mempunyai kemampuan sea skimming, yakni terbang rendah diatas permukaan laut, untuk C-705 batas terbawah mampu terbang 12,5 meter dari atas permukaan laut. Dengan terbang rendah, menjadikan sosok rudal ini sulit terdeteksi oleh radar. Untuk urusan pemandu, lagi-lagi tak ada informasi yang spesifik, tapi beberapa literatur menyebut C-705 mengkombinasikan sistem pemandu dari radar, infrared, GPS (Global Positioning Systems), GLONASS (Global Navigation Satellite Systes), dan TV.
Menurut pendapat penulis, C-705 sangat pas untuk diterapkan pada beberapa kapal patroli TNI AL yang kini belum dilengkapi rudal anti kapal, seperti pada jajaran FPB-57. Lainnya seperti kapal cepat TNI AL yang baru diterima secara hibah dari Brunei Darussalam, yakni KRI Badau (642) dan KRI Salawaku (643). Kedua kapal cepat tersebut sejatinya masuk kategori KCR, tapi sayang dalam paket hibahnya, tidak disertakan rudal MM-38 Exocet. Dilihat dari jenis dan ukuran, antara KRI Badau dan KRI Clurit tak beda jauh.
Jangkauan C-705 dapat ditingkatkan dengan roket booster
Embrio Rudal Anti Kapal Nasional?
Hingga kini Indonesia belum berhasil menciptakan rudal anti kapal buatan dalam negeri. Hal ini didasarkan atas ajakan Jenderal Guo Boxiong, Wakil Ketua Komisi Militer Tiongkok, dalam kunjungannya ke Jakarta (21/5/2011). Boxiong menawarkan kerjasama pembuatan rudal C-705, mengingat sebelumnya TNI AL sudah menggunakan rudal buatan Cina, C-802.

Ajakan tersebut lalu ditanggapi oleh Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, menteri mengatakan, “kita menawarkan adanya joint production peralatan senjata, salah satunya membuat rudal bersama. Mereka mempunya teknologi yang luar biasa, kita berharap bisa belajar dan berbagi pengalaman.” Apakah niatan tersebut akan terealisasi? Mari kita tunggu perkembangan selanjutnya. (Haryo Adjie Nogo Seno)

Spesifikasi C-705

Negara pembuat : Cina
Bobot rudal :
Diameter :
Hulu ledak : 110 Kg HVDT-H high explosive
Mesin : motor roket
Propellant : solid fuel
Kecepatan : High sub sonic
Jangakauan : 75 – 80 Km
Pemandu : Radar/TV/Infrared
Platform peluncuran : truck, kapal perang, dan pesawat tempur.
h1

Maverick : Rudal Maut Pelibas Tank

25/07/2011
A-10 Thunderbold II "The Tank Buster" - pengguna setia rudal Maverick
Meski anggaran belanja pengadaaan peralatan militer RI serba terbatas, tapi pemerintah masih berusaha untuk meningkatkan kemampuan yang ada. Bicara di arsenal peluru kendali (rudal), terutama di ranah rudal udara ke permukaan (air to surface missile/ASM), pasca tahun 60-an arsenal ASM TNI memang super kedodoran, setelah pernah memiliki rudal AS-1 Kennel yang fenomenal di tahun 60-an, praktis baru pada tahun 1990-an Indonesia kembali memiliki ASM.
Rudal yang dimaksud tak lain adalah AGM (air ground missile)-65 Maverick. Rudal ini awalnya dibeli TNI untuk dipasangkan pada armada F-16 Skadron Udara 3 yang datang pada tahun 1989. Maverick terbilang rudal yang battle proven, nama rudal ini sangat legendaris sejak tahun 70-an. Maverick dirancang sebagai senjata ampuh untuk menghancurkan sasaran di permukaan dengan obyek berupa lapis baja dan beton.
AGM-65K melesat menghantam sasaran
Rudal buatan Hughes Aircraft Company (sekarang Raytheon) ini pertama kali diproduksi pada tahun 1972, debut pertama rudal ini mulai terlihat pada ajang Perang Vietnam, dan menjadi salah satu rudal yang paling sering ditembakkan dalam Perang Teluk I dan II. Selain ampuh untuk menghancurkan obyek berupa bunker, Maverick nyatanya jauh lebih populer sebagai senjata pemusnah tank. Dalam perang Teluk I, Maverick banyak dilepaskan dari A-10 Thunderbold (tank buster) untuk menghancurkan armada tank Irak.
AGM-65A, versi pertama Maveerick dengan pemandu TV
AGM-65A, populer digunakan oleh A-7 Corsair dan A-4 Skyhawk
Maverick hingga kini masih digunakan sebagai rudal andalan di banyak negara sekutu AS, negara NATO, dan pastinya USAF, US Marines, dan US Navy. Lantaran sudah digunakan cukup lama, Maverick sudah dihasilkan dalam banyak varian. Kini Maverick sudah tak diprosuksi lagi, tapi rudal yang sudah dipakai oleh 28 negara ini sudah diproduksi sebanyak 60.000 unit. Karena tak lagi diprosuksi, sementara Maverick masih terus ‘disiagakan’, maka rudal ini beberapa telah mengalami upgrade.
Inside Maverick
Struktur Maverick dapat dibedah menjadi tiga bagian utama. Bagian terdepan berupa guidance (pemandu) unit mempunyai tiga varian (TV guidance, IR guidance serta laser guidance). Sistem ini terhubung dengan sirip pengendali. Bagian tengah berisi bahan ledak padat yang mampu membawa beban antara 57 – 136 kg dan hanya bisa meledak dengan kinetic energy. Sementara bagian paling belakang berupa tabung roket berisi solit propeland agar Maverick dapat meluncur hingga 20 nm sebelum mengenai sasaran.
Struktur AGM-65 Maverick
Bila sensor guidance telah mengenali sasaran dan pilot mengunci (lock on), tugas selanjutnya akan dikerjakan sendiri oleh Maverick. Meskipun dalam perjalanan menuju sasaran banyak gangguan termasuk jamming, decoy ataupun upaya lain, termasuk menembak jatuhnya. Pola ini disebut juga sebagai fire and forget (tembak dan lupakan).
Dengan diameter selebar satu kaki (kira kira 30 cm, termasuk sayap manjadi 70 cm) berupa tabung sepanjang 2,5 m, Maverick menjadi sangat sulit untuk ditembak jatuh dengan senjata antiserangan udara. Apalagi Maverick melesat pada kecepatan hampir 1 Mach. Kecepatan saat mengenai sasaran akan berubah menjadi enerji kinetik. Dengan daya ini akan meledakkan isian amunisi seberat 57 kg dengan daya ledak cukup dasyat.
AGM-65G Maverick
Ledakan ini dapat membobol beton bertulang (R300/5.000 psi) hingga tembok beton sedalam 2 meter atap tembok biasa sedalam 5 meter. Untuk menembus baja, Mavercik bisa menembus baja (R1800) setebal 15 cm. Hingga saat ini belum ada benda yang mempunyai ketebalan baja sampai 15 cm. Dengan kata lain tidak ada sasaran atas permukaan yang tidak dapat ditembus Maverick.
Pilihan jenis pemandu dan hulu ledak pada varian Maverick
Agar cocok untuk segala tugas, pihak pabrikan sengaja menciptakan Maverick dengan desain modular. Alhasil dengan konsep ini perangkat penuntun bisa digonta-ganti sesuai keinginan pemesan. Sebagai contoh untuk AGM-65 A/B/H menggunakan sistem pemandu TV. Lantas masih ada lagi AGM-65 D/F/G yang memiliki pemandu infra merah. Dan yang terbaru AGM-65E dengan pemandu target dari sinar laser.

Selain urusan sensor, desain modular juga diberlakukan pada kapasitas bopong hulu ledak. Ada dua opsi yang dipilih, standar 57 kg untuk varian AGM-65 A/B/D/H dan 136 kg bagi AGM-65 E/F/G/H/K. Dalam penerapan di lapangan, untuk hulu ledak ringan biasanya dipakai oleh pesawat-pesawat tempur milik US Marine dan USAF. Sedangkan hulu ledak berbobot lebih besar untuk menghantam target diatas permukaan laut lebih condong digunakan oleh pesawat-pesawat US Navy.
Keluarga Maverick
AGM-65A Maverick adalah varian pertama yang dilansir pada 1972 atas pesanan AU AS. Saat itu AU AS mengisyaratkan untuk mengganti bom konvensional dengan peryaratan ketat bahwa bom tersebut harus memenuhi kriteria berupa berat maksimal 500 lbs (226 kg), dapat dikendalikan dengan sistem sederhana, dapat diangkut pesawat tempur yang ada serta mudah perawatannya. Setelah mengajukan berbagai contoh, terpilihlah produk Raytheon System Co., dengan wujud rudal kecil, manis, mempunyai empat sayap delta, mampu membawa hulu ledak seberat 57 kg serta mampu diluncurkan mulai dari ketinggian 10 hingga 27 kilometer

Dalam uji coba yang diperagakan, Maverick dapat diluncurkan pada variasi kecepatan mencengangkan. Mulai dari 200 knots hingga 2 Mach. Hampir mustahil saat itu ada rudal atas permukaan mampu dilepaskan pada kecepatan supersonik. Hal ini dimungkinkan karena Raytheon System Co., telah melengkapi rudal ini dengan motor roket yang akan bereaksi dua tahap, yaitu tahap realesed selama 0,5 detik dengan daya dorong sebesar 10.000 lbs (4536 kg) dan tahap launching selama 3,5 detik dengan daya dorong 2.000 lbs .
AGM-65A: diproduksi pertama 1972 sebanyak 25.000 unit untuk keperluan AU AS dengan hulu ledak 125 lbs, dikendalikan infra red video over come. Hanya untuk sasaran siang hari.
AGM-65B: dilengkapi pemandu electro-optical television guidance system yang memungkinkan pilot dapat melihat sasaran lebih kecil serta jarak jangkau pembidikan lebih jauh.
AGM-65C: pengembangan model-A tetapi dapat dioperasikan pada malam hari.
AGM-65D: pengembangan dari model sebelumnya dengan tambahan adverse weather limitations yang memungkinkan rudal dapat melihat target pada cuaca buruk pada jarak pandang terbatas.
AGM-65E: khusus pesanan US Marine Corps berpemandu laser guided system dengan hulu ledak lebih besar.
AGM-65F: digunakan hanya oleh AL AS dengan laser guidance seperti varian terdahulu tetapi jenis ini mempunyai hulu ledak 300 lbs.
AGM-65G: diluncurkan pada Februari 1986, pengembangan tipe D berupa penambahan software agar mampu dikendalikan dengan Infra Red Seeker terbaru, sehingga rudal mampu mengendus sasaran lebih jauh termasuk sasaran kapal laut. Mempunyai hulu ledak seberat 300 lbs.
AGM-65H: mengambil rancang bangun tipe D dengan meningkatan kemampuan daya ledak. Banyak digunakan sewaktu Perang Teluk.
AGM-65K: masih dalam uji coba dan ditengarai sebagai Maverick generasi terakhir, pesanan khusus AU AS.
Maverick TNI AU
Dari beragam tipe Maverick diatas, tipe manakah yang dimiliki TNI AU? Jawabannya adalah seri AGM-65G. Jadi bisa dikatakan dari segi teknologi, versi yang dimiliki TNI AU tak terlalu ketinggalan jaman. Cuma sayang dari beragam jenis pesawat tempur yang dimiliki TNI AU, nyatanya Maverick hanya bisa digotong oleh F-16 Fighting Falcon dan Hawk 100/200. Tidak diketahui berapa unit yang dibeli Indonesia, tapi kabar menyebutkan jumlahnya mencapai lusinan.
F-16 TNI AU tampak menggotong Maverick
Untuk F-16, dalam sekali terbang dapat membawa hingga 4 unit Maverick, sedangkan pada Hawk 100/200 maksimal hanya bisa membawa 2 unit rudal. Harga rudal ini terbilang cukup mahal, yakni per unit US$ 225.000, saat dibeli pada tahun 1990. Mengenai harga memang tergantung varian, dalam pembelian mencakup pula penambahan untuk biaya pelatihan, fasilitas gudang penyimpanan, perawatan, biaya uji coba serta delivery, patokan harga ini dapat melambung hingga di atas US$500.000.
Hawk 200 TNI AU tampak membawa 2 unit Maverick
Tapi toh rudal ini tetap laku bak kacang goreng. Beruntung TNI AU telah membeli sebelum harga melambung setelah terbukti andal saat Perang Teluk. Kelengkapan lain yang yang tak kalah penting adalah pengadaan rudal palsu guna menambah kemahiran para teknisi atau alat peraga. Rudal palsu lainnya sebagai kelengkapan sebut saja:
TGM-65: Training Groung Missile-65. Ditandai dengan cicin putih yang berarti dummy dipakai sebagai prasarana latihan penerbang dalam hal pembidikan di udara. Mempunyai sistem serupa dengan AGM-65, cuma tidak dilengkapi motor roket, jadi tidak dapat diluncurkan.
MLT-65: Munition Load Training-65. Digunakan para teknisi di darat untuk latihan loading dan un loading agar terlatih sewaktu memasang Maverick beneran. Rudal dummy mempuyai bentuk, berat, warna sama dengan rudal beneran cuma bercincin biru. Karena mempunyai kemiripan dengan rudal asli, sering dipakai saat static show.

MMT-65: Munition Maintenance Training. Dipakai teknisi guna mengecek sistem alat bidik yang ada di pesawat, untuk membedakan dari jenis lain alat peraga ini bercincin kuning. Untuk TNI AU ada dua jenis pesawat yang dapat membawa TGM-65, yaitu F-16 A/B dan Hawk Mk-209.
Barang aspal (asli tapi palsu) di atas merupakan kelengkapan yang digunakan untuk memahirkan teknisi dalam memasang rudal, memahirkan pilot dalam pembidikan serta pengecekan sistem yang ada di pesawat. Sedangkan rudal asli TGM-65G Maverick tetap terpelihara di gudang penyimpanan dan hanya dikeluarkan dan dipasang di pesawat bila benar benar akan digunakan. Rudal ini ditandai dengan cincin merah yang berarti live, mempunyai hulu ledak seberat 300 lbs, infra red guidance pada moncongnya yang selalu tetutup serta mempunyai “jendela kaca” sebesar ibu jari. Selama warna jendela ini Amber to Red, berarti sang Maverick masih serviceable.
AGM-65 sesaat sebelum menghantam tank M-48
AGM-65 setelah menghantam tank, daya hancur rudal ini sangat besar
Penembakkan Maverick oleh TNI AU
Untuk mengasah ketrampilan teknisi dan pilot, TNI AU sudah beberapa kali melakukan uji penembakkan Maverick. Khusus untuk pesawat F-16, sudah tiga penerbang yang pernah menembakkan rudal pintar ini. Yaitu Letkol Pnb Muhammad Syaugi, Letkol Pnb Agung Sasongkojati dan Letkol Pnb Fahcri Adami.
Uji kalibrasi pada AGM-65G TNI AU
Salah satu tempat uji tembak Maverick adalah di Rambang, Lombok Timur, Selasa siang lalu. Blaaar… dan hancurlah sasaran menjadi kepingan tak berbentuk lagi. Itulah sebabnya-kata Komandan Lanud Iswahyudi, Marsekal Pertama F Djoko Poerwoko-yang tampak hanya nyala api dan kepulan debu tebal setelah bunyi blaar itu. Soalnya, peluru dan bom itu ditembakan dari F-16 dengan ketinggian sekitar 4.000 kaki dari atas permukaan air laut dan kejauhan sekitar 5 mil laut dari lokasi sasaran.
Sedangkan uji penembakkan baru-baru ini juga dilakukan dari atas pesawat Hawk Skadron Udara 1. Latihan mengambil lokasi di di Air Weapon Range (AWR) Pulung, Ponorogo dengan melibatkan 7 pesawat tempur Hawk 109/209 dari Skadron Udara 1, dengan waktu pelaksanaan pada 6-17 Juni 2011. (Haryo Adjie Nogo Seno)

Spesifikasi AGM-65G Maverick
Produsen : Hughes Aircraft Corporation (kini Raytheon Corporation)
Mulai digunakan : Februari 1986
Mesin : Thiokol TX-481 – motor roket berpendorong ganda
Berat : 301,5 Kg
Panjang : 2,55 meter
Diameter : 30,48 cm
Bentang sayap : 71,12 cm
Kecepatan Max : 1.150 km/jam
Jangkauan : 27 km (ketinggian tinggi), 13 km (ketinggian rendah)
Hulu ledak : 135 kg, pemicu dengan interval
Pemandu : Infrared
h1

Strela : Si Pemburu Panas Andalan Parchim dan Korps Marinir TNI AL

04/07/2011
Masih ingat tentang 39 kapal perang eks Jerman Timur yang dibeli Indonesia pada tahun 1990-an. Dibalik pembelian borongan kapal dalam jumlah besar, nyatanya juga termasuk paket persenjataan yang melengkapi kapal-kapal tersebut. Diantaranya untuk korver Parchim dan LST Frosch dilengkapi dengan 5.000 ton amunisi, meski dipreteli tapi bisa dibawa ke Tanah Air. Nah, yang cukup mencengangkan di paket senjata tadi juga terdapat 1.550 peluru kendali SA-7 Strela yang terbilang canggih dimasa itu.
Strela adalah jenis rudal panggul (Manpad) yang amat populer, dan banyak digunakan pada berbagai konflik di seluruh dunia. Hadirnya Strela pada awal 1990, menjadikan senjata ini sebagai rudal panggul pertama yang dimiliki TNI, khususnya di segmen rudal anti serangan udara jarak dekat/SHORAD (short range air defence). Baru kemudian TNI kedatangan rudal model panggul yang lebih modern, seperti Mistral dan QW-3.
Strela terbilang mudah dibawa oleh perseorangan
Strela dirancang pada tahun 1964 oleh Kalomna (KBM) di Uni Soviet, dan mulai diprouksi untuk keperluan AB Uni Soviet pada tahun 1968. Dan di tahun 1970 rudal ini sudah banyak malang melintang di arena konflik global. Diantaranya terlibat dalam Perang Arab-Israel, Vietnam, Angola, Lebanon,Irak, Afganistan dan Malvinas. Kehandalan Strela tak perlu diragukan, dalam perang Yom Kippur, hampir separuh dari armada Skyhawk AU Isreal pernah merasakan sengatan maut rudal ini. Bahkan tak usah jauh-jauh, di kawasan Asia Tenggara, Jet tempur F-5E Tiger milik AU Thailand pada tahun 1988 pernah ditembak jatuh oleh Strela milik Vietnam dalam konflik perbatasan. Sebelumnya beberapa jet temput Thailand juga pernah disengat Strela milik Vietnam dan Kamboja.
Dengan pengabdian yang panjang, pastinya Strela sudah dihadirkan dalam beberapa versi, bahkan sudah pula digarap secara lisensi oleh negara-negara sekutu Rusia. Untuk Strela di Indonesia, karena berasal dari persenjataan di atas kapal perang, yang digunakan adalah versi SA-N-5 Grail. SA-N-5 Grail merupakan kode penamaan yang diberikan oleh NATO, rudalnya sendiri berasal dari platform Strela-2M. SA-N-5 Grail memang dirancang oleh Pakta Warsawa (kala itu) untuk ditempatkan pada kapal perang. Yang membedakan dari versi Strela lainnya, SA-N-5 Grail pada kapal perang dilengkapi dengan dudukan (mounting fasta) sebagai pelontar rudal. Tipe mounting yang digunakan adalah peluncur Fasta 4M, model peluncur ini dapat memuat 4 rudal tiap unitnya, tapi dalam beberapa penampilan umumnya satu peluncur hanya disiapkan dengan 2 rudal.
Penampang rudal dan peluncur Strela
SA-N-5 Grail dalam mounting fasta
Strela yang dioperasikan TNI AL hingga kini memperkuat jajaran armada korvet kelas Parchim. Karena sudah berusia tua dan bekas pakai pula, rudal ini perlu dimodifikasi lebih lanjut agar sesuai kebutuhan dalam gelar operasi. Modifikasi pun telah dilakukan oleh Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI AL, alhasil walau rudal ini usianya sudah 34 tahun masih tetap topcer dalam uji coba. Dari hasil modifikasi, Strela kini dinamai rudal AL1.
Beginilah tampilan Strela/Grail saat dioperasikan dari atas geladak kapal perang
Si Pengejar Panas
Streal bekerja dengan sistem pemandu pasif infra red, rudal ini bisa mendeteksi sasaran dengan tepat di atas temperatur 200-400 derajat Celsius–suhu yang dikeluarkan oleh exhaust nozzle pesawat terbang atau helikopter sasaran. Sistem peluncur rudal terdiri dari tabung peluncuran rudal dan silinder baterai termal. Dalam teorinya satu tabung peluncur dapat diisi ulang (reload) hingga lima kali pengisian.
Karena sifatnya manpad, rudal ini sepenuhnya dikendalikan oleh awak secara manual. Saat rudal meluncur dari tabung, digunakan sistem pembakaran sesaat (short burnt booster). Pola penembakan ini harus diwaspadai oleh awak, sebab semburan roket dapat mengenai penembak.

Sistem pembakar sesaat (short burnt booster), digunakan meluncurkannya dari tabung. Selain membahayakan penembak, sistem ini juga membatasi sudut tembak. Kelemahan lain adalah Strela harus benar-benar diarahkan ke saluran buang (exhaust nozzle) pesawat atau helikopter sasaran. Saat rudal pertama kali meluncur dari tabung, kecepatan yang didapat yakni 32 meter per detik dan rudal berputar pada porosnya sekitar 20 putaran per detik. Pada puncaknya, Strela akan memburu target dengan kecepatan 430 meter per detik. Setelah rudal keluar dari tabung, otomatis badan rudal akan mengembangkan sirip untuk terbang.
Strela amat pas untuk menghadang pesawat yang terbang rendah dengan manuver tinggi. Dengan kecepatan luncur yang dahsyat, Strela hanya punya jangkauan tembak hingga 5,5 kilometer dan ketinggian luncur maksimum 4,5 kilometer. Strela juga bisa menghadang sasaran dalam jarak sangat dekat, tapi minimum jarak target harus 18 meter dan ketinggian minimum 500 meter. Berat rudal Strela mencapai 9,8 kilogram, termasuk hulu ledak seberat 1,15 kilogram.
Strela juga pas dan lebih stabil dipasang pada dudukan di atas kendaraan/truck
Sedangkan berat rudal beserta tabung dalam posisi siap tempur mencapai 15 kilogram, beratnya masih cukup ideal untuk dipanggul oleh unit-unit pasukan infantri. Versi terbaru dari Strela adalah SA-14 Gremlin. Bentuknya sama dengan pendahulunya. Perubahan yang mencolok adalah pada sistem penjejak yang lebih sensitif. Keuntungannya rudal ini bisa ditembakkan dari sudut yang lebih lebar.
Dipakai Korps Marinir TNI AL

Strela ditampilkan dalam sebuah defile oleh Korps Marinir TNI AL
Jumlah unit Strela yang banyak, ditambah sifatnya yang portable, menjadikan rudal ini sangat pas “dikaryakan” untuk mendukung unit militer lain, yakni Korps Marinir. Cukup lepas Strela dari mounting di kapal perang, maka jadilah rudal ini sebagai senjata pamungkas bagi infantri. Hadirnya Strela di Korps Marinir sudah diketahui cukup lama, salah satunya penulis saksikan saat defile HUT 50 Tahun ABRI tahun 1995 di Lanud Halim Perdanakusumah. Saat itu Strela dipasang dengan mounting pada truk Unimog, jadi satu truk bisa meluncurkan 2 rudal sekaligus, mirip dengan pola di kapal perang. Tapi belakangan Strela juga kerap muncul dalam formasi single shooter pada defile- militer baru –baru ini. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Spesifikasi SA-7 Strela/SA-N-5 Grail
Perancang : KBM Kolomna
Berat rudal : 9,8 Kg/termasuk hulu ledak 1,15 kg
Panjang : 1,44 meter
Diameter : 72 mm
Bentang maksimum : 4200 mm
Lebar sayap : 70 cm
Jangkauan max : 5.500 meter
Ketinggian max : 4.500 meter
Kecepatan max : 430 meter per detik (sekitar 1,5 Mach)

h1

C-802 : Rudal Penebar Maut dari Cina

27/06/2011
C-802 saat dilepaskan dari KRI Layang
Sejak pertengahan 2008 diketahui TNI AL telah memiliki keluarga rudal baru buatan Cina. Rudal anti kapal ini tak lain adalah C-802. Debut pertama rudal ini ditampilkan TNI AL dalam Latgab TNI 2008, dalam ajang latihan tersebut C-802 dipasang pada KRI Layang (805), tipe kapal FPB (fast patrol boat)-57 buatan PT. PAL. Dengan desain kapal yang relatif kecil, memang hanya dua tabung peluncur C-802 yang bisa dipasang pada jenis FPB-57.
Rencananya tiap armada FPB-57 TNI AL akan dilengkapi rudal C-802, ini tentu akan meningkatkan ‘kesaktian’ jenis kapal patroli ini, pasalnya armada kapal patroli cepat TNI AL memang minim yang dibekali rudal anti permukaan. Saat awal tahun 80-an hingga kini TNI AL memang punya jenis KCR (kapal cepat rudal), yakni 4 dari tipe PSMM Mark 5, atau dikenal sebagai kelas Dagger, diantaranya adalah KRI Rencong (621), KRI Mandau (622), KRI Badik (623) dan KRI Keris (624). Ditaambah baru-baru ini TNI AL mendapat hibah 2 KCR dari Brunei Darussalam, yakni KRI Salawaku (643) dan KRI Badau (642).
KRI Badau dan KRI Salawaku - dua KCR asal hibah dari Brunei
Alhasil bila dilalkukasi, TNI AL hanya punya 6 unit KCR, tentu jumlah yang amat minim. Ditambah lagi secara kualitas rudal-rudal pada 6 KCR tersebut sudah cukup tua, keenamnya mengadopsi jenis rudal MM-30 Exocet. Nah, mengatasi minimnya jumlah KCR, TNI AL berusaha meningkatkan status KCT (kapal cepat torpedo) yang selama ini melekat di kelas FPB-57. Dengan dipasangnya C-802, kini FPB-57 dapat berperan sebagai KCT sekaligus KCR. Maklum senjata andalan FPB-57 sebagai KCT adalah dua tabung torpedo berpemandu AEG SUT (surface and underwater target).
Tak semua FPB-57 cocok untuk dipasangi rudal C-802, yang pas menyandang rudal maut ini tak FPB-57 NAV-V yang sudah mengalami modifikasi pada sistem kendali persenjataan. Selain KRI Layang, C-802 juga akan dipasangkan pada KRI Hiu (804), KRI Lemadang (806), dan KRI Todak (803).
KRI Todak - salah satu KCT armada TNI AL
Armada KCR TNI AL kelas Dagger
C-802
Sejarah kelahiran C-802 dimulai sejak masih berupa konsep rancangan CHETA (China Hai Ying Electro – Mechanical Technology Academy) di awal dekade 1970-an. Tujuan kerja proyek ini tak lain untuk memenuhi kebutuhan AL Cina akan sebuah rudal anti kapal perang permukaan yang relatif kecil, lebih kecil bila dibanding desain rudal dari Uni Soviet. Spesifikasi yang diharapkan yakni berkecepatan subsonic, sanggup melakukan terbang sea skimming (sedikit di atas permukaan laut), mampu melakukan attact flight (terbang serang) dengan didukung sistem teknologi penjejak sasaran mutakhir.
Nah, selain melansir beberapa rudal versi lokal untuk konsumsi Cina sendiri, CHETA juga mendesain sejumlah versi ekspor YJ-8. YJ-8 adalah nama lain dari C-802. Tentu saja spesifikasi teknis dan kinerjanya sedikit dibawah versi lokal yang dipakai AL Cina. Nah, nama resmi YJ-8 yang di ekspor adalah C-802 (YJ-82).

Salah satu varian C-802 adalah C-802A. Rudal ini pertama kali menampakkan sosoknya pada ajang DSEIE (Defence Systems and Equipments International Exhibition) di London, Inggris pada September 2005. Jangkauan C-802A dikabarkan mampu mencapai 180 km. Desain YJ (Ying Ji : Sambaran elang) tidak lagi mengacu pada konsep desain rudal asal Uni Soviet. Oleh perancangnya YJ-8 diklaim perancangnya sebagai hasil perpaduan fisik antara rudal RGM-84 Harpoon dan sistem kendali jelajah rudal MM-38 buatan Perancis.
Rudal Lintas Cakrawala
C-802 mampu menjangkau sasaran yang berada di balik garis cakrawala (over the horizon attack), agar rudal dapat mengenai sasaran dengan tepat (misalnya jarak sasaran, ketinggian jelajah optimal dan kecepatan serta arah angin) telah dihitung dengan tepat oleh perangkat kendali penembakan rudal, maka keseluruhan data tersebut dimasukkan kedalam ‘otak’ YJ-8. Selanjutnya dilakukan kegiatan pra penembakan rudal. Begitu rudal telah siap ditembakkan, arah hadap kotak peluncur rudal akan disetel sedemikian rupa agar sasaran berada di dalam jangkauan rudal. Setelah sasaran telah benar-benar berada di dalam jangkauan tembak YJ-8 (sekitar 8-40 kilometer untuk YJ-81) maka juru senjata akan segera menembakkan rudal.
Tampilan mock up C-802
Tidak lama setelah rudal ditembakkan dan melesat keluar dari wadahnya dengan sudut evaluasi penembakan sekitar 30-45 derajat, maka secara bertahap solid propellat booster akan terbakar (bekerja). Dalam hitungan beberapa detik kecepatan jelajah YJ-8 secara bertahap akan meningkat. Dari semula Mach 0,0 menjadi hingga Mach 0,9 (setara 956 kilometer per jam). Setelah terbakar habis, solid propellat booster akan segera terlepas (detached) dari badan rudal. Kini tiba giliran mesin penggerak membawa rudal menuju sasarannya. Dikendalikan oleh sistem otopilot dan radio altimeter berpresisi tinggi, YJ-8 sanggup menjelajah hingga sejauh 120 kilometer dengan terbang pada kecepatan jelajah Mach 0,8 – 0,9. Ketinggian jelajah pra serang yang dapat dicapai oleh masing-masing anggota keluarga rudal YJ-8 sepenuhnya tergantung situasi dan kondisi perairan (sea status) yang tengah dilintasinya.
Saat memasuki tahapan akhir masa jelajahnya, setiap anggota keluarga rudal YJ-8 akan segera mengaktifkan radar penjejak sasarannya untuk memindai (scan) sasarannya agar ia dapat menentukan secara lebih akurat lokasinya dan kemudian mendekatinya. Berkat sistem pemandu berpola pulsa tunggal yang bekerja pada daerah gelombang radio berfrekuensi tinggi, radar penjejak sasaran YJ-8 menjadi lebih kebal dari segala bentuk upaya pengacakan dan pengecohan yang mengandalkan aneka perangkat gelar perang elektronik. Dengan kata lain kemampuan anti jamming-nya cukup tinggi.
C-802 milik AD Iran, C-802 bisa ditembakkan dari platform di darat
Setelah sasaran yang dituju telah ‘dikunci’ (locked) dalam jarak beberapa kilometer, maka secara bertahap ketinggian terbang YJ-8 akan anjlok hingga tinggal lima sampai tujuh meter dari permukaan laut. Begitu sasaran yang dituju telah berada di hadapannya, YJ-8 akan segera menukik ke bawah untuk selanjutnya mencebur ke laut. Tujuannya agar ia dapat dengan telak menghajar daerah lambung sasaran pada titik sekitar garis air kapal (water line).
Sikap serang seperti ini diyakini perancang YJ-8 sebagai dapat memaksimalkan derajat kerusakan sasaran. Setelah dinding lambung sasaran jebol dan moncong YJ-8 berada di dalamnya, maka tidak lama kemudian hulu ledak rudal segera meledak disertai timbulnya tenaga penghancur yang sangat kuat.

Berkat C-802, AS harus berpikir dua kali untuk menyerang Iran dari lautan
Secara fisik C-802 relatif agak sulit terlacak oleh radar kapal perang yang paling canggih sekalipun. Alasannya jejak radar C-802 sulit dibedakan dengan jejak radar ikan lumba-lumba. Tak cuma itu, perancang C-802 juga mengklaim jika hasil karyanya sanggup beraksi optimal dalam segala kondisi cuaca.
Tantangan Pada Radar Permukaan
C-802 dan Yakhont terbilang rudal handal yang bisa beroperasi lintas cakrawala, tapi dalam gelar operasinya bukan tiada tantangan, khususnya bila dioperasikan pada jenis kapal cepat, umumnya punya keterbatasan jangkauan radar. Sehingga bisa jadi jangkauan radar tak memadai untuk kinerja optimal sang rudal yang bisa menjangkau sasaran sangat jauh dibalik cakrawala. Lain hal bila dioperasikan dari kapal jenis fregat atau korvet yang punya jangkauan radar permukaan lebih baik.
Battle Proven

INS Hanit, korban hantaman C-802, sayang kapal ini tidak tenggelam

Produk buatan Cina kerap mendapat stigma kw-2 (kualitas dua), dimana standarnya dicibir masih dibawah produk besutan AS/Eropa. Tapi lewat C-802, Cina berhasil membutikan bahwa rudal yang dibuat cukup ampuh. Salah satunya diperlihatkan saat kelompok Hizbullah menghadang serbuan Isreal di Lebanon pada medio 2006. Mereka mengklaim telah menembakkan C-802 untuk mematahkan blokade laut AL Israel. Hizbullah menghajar kapal perang Israel, INS Hanit, dengan dua rudal, kapal perang itu rusal berat. Walau tidak tenggelam, diketahui empat pelautnya tewas. (Haryo Adjie Nogo Seno) Spesifikasi C-802
Berat : 715 kg
Panjang : 6,392 meter
Diameter : 36 centimeter
Mesin : Turbojet
Hulu ledak : 165 kg High Explosive
Lebar sayap : 0,72 meter (terlipat)/ 1,22 meter (tidak terlipat)
Ketinggian terbang : 20-30 meter (terbang) / 5-7 meter saat mendekati sasaran
Kecepatan : subsonic/ versi terbaru sudah supersonic
Pemandu : radar aktif
Platform peluncur : kapal permukaan, kapal selam, pesawat tempur dan truck
h1

SA-2 : Rudal Darat Ke Udara Legendaris AURI

08/06/2011
SA-2 AURI dalam sebuah gelar operasi
Menyandang predikat sebagai ‘Macan Asia’ dalam sisi militer, Indonesia pada era 60-an menjelma sebagai kekuatan yang menggetarkan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Dari seabreg perlengkapan tempur modern yang diperoleh dari Uni Soviet, unsur pertahanan udara (Hanud) nyatanya juga sangat diprioritaskan oleh Ir. Soekarno, Presiden RI pertama. Sebagai unsur Hanud, mulai dari pesawat tempur, rudal dan radar, apa yang Indonesia punya saat itu adalah produk tercanggih dimasanya.
Nah, bicara rudal pun banyak versi yang dimliki TNI, dua matra yakni AURI (TNI AU) dan ALRI (TNI AL) juga mengusung rudal-rudal dari varian anti kapal, udara ke udara dan udara ke permukaan yang terbilang mampu membuat negara tetangga dan NATO/AS sempat dibuat keder saat era tersebut. Lebih dalam lagi di segmen rudal darat udara atau bisa disebut rudal anti serangan udara, TNI AU punya ‘kenang-kenangan’ yang amat fenomenal, ini tak lain rudal SA-2 “Guideline” (kode NATO), di negara asalnya Uni Soviet rudal ini diberi kode V-75 “Dvina”. Saking populernya, karena banyak merontokkan pesawat tempur AS, rudal yang pertama kali dibuat oleh pabrik Lavochkin OKB pada tahun 1953 juga dikenal dengan sebutan SAM (Surface to Air Missile)-75.
SA-2 dipasang dengan ground mounted
SA-2 terbilang rudal yang punya reputasi tempur tinggi, dengan sosoknya yang terbilang besar, yakni berat 2,3 ton, panjang 10,6 meter serta diameter 0,7 meter menjadikan SA-2 adalah sosok rudal terbesar yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Dengan bobot hingga ukuran ton, sudah pasti daya jelajah rudal ini terbilang fantastis dan memang SA-2 digolongkan segai rudal darat udara jarak jauh. Jangkauan SA-2 efektif bisa mencapai 45 km dengan kecepatan 3,5 Mach, sebuah kecepatan yang fantastis, mengingat sejak SA-2 Indonesia belum pernah memiliki rudal darat udara dengan kecepatan diatas 3 Mach (3 kali kecepatan suara). Walau terbilang rudal kelas berat, proses peluncuran SA-2 bisa dilakukan secara cepat bila telah mengunci sasaran. Saat pertama diaktifkan yang menyala adalah engine booster selama 4 sampai 5 detik dan kemudian engine utama akan aktif selama 22 detik dengan kecepatan 3,5 Mach dengan tingkat akurasi 65 meter.
SA-2 meluncur dari "sarangnya"
Selain unggul dalam daya jelajah dan kecepatan luncur, jangkauan ketinggian SA-2 pun mengagumkan, yakni bisa mencapai 20.000 meter. Daya hantam SA-2 pun cukup menakutkan dengan hulu ledak high explosive fragmentasi seberat 200 kg. Dengan spesifikasi diatas, jelas SA-2 jadi senjata yang mujarab untuk merontokkan pesawat jet pengintai yang kerap terbang tinggi. Ini terbukti pada 1 Mei 1960 rudal ini dapat menembak jatuh pesawat mata-mata Amerika U-2 ‘Dragon Lady” pada ketinggian 15,24 Km dan berhasil menangkap pilotnya Francis “Gary” Powers.
Selain itu ada peristiwa lain yang mencatat keberhasilan rudal ini dari berbagai variannya adalah pada insiden U-2 Taiwan ditembak jatuh oleh tentara RRC di atas Narching. Lalu Pada bulan Oktober 1962, U-2 Amerika hilang ditembak oleh tentara Kuba di atas pangkalan angkatan laut Banes yang kemudian memicu krisis rudal Cuba. Berikutnya adalah di ajang Vietnam dengan korban pesawat tempur F-4C Phantom pada bulan Juli di tahun yang sama. Tak heran memang, SA-2 dihadirkan Uni Soviet sebagai kegeraman atas kehadiran pesawat intai U-2 yang kerap masuk ke wilayah Soviet. Dalam operasionalnya, SA-2 digunakan pada tahun 1957 oleh resimen PVO-Strany dan ditempatkan pada suatu daerah dekat kota Sverdiovsk.
Parade rudal SA-2 dalam sebuah defile tahun 60-an di Istora Senayan
Kondisi truck Zil 131 AURI, pembawa rudal SA-2
Walau tampil menakutkan bagi armada tempur NATO, SA-2 tidak pas untuk menyergap pesawat yang terbang dengan ketinggian rendah yang bermanuver tinggi. SA-2 kodratnya adalah rudal untuk menghantam target pada ketinggian menengah dan tinggi yang bermanuver rendah seperti pesawat pembom dan pesawat mata-mata. Dalam bobot yang besar, SA-2 bukan rudal yang bersifat mobile, platform peluncurannya menggunakan ground mounted. Sedangkan untuk pengiriman rudal menggunakan moda truk.
SA-2 di Indonesia
Kedatangan SA-2 di Bumi Pertiwi tak lepas dari kebutuhan pada saat operasi Trikora. Dalam beberapa literatur diketahui TNI AU mulai mengirimkan teknisi ke Uni Soviet untuk dilatih mengoperasika rudal ini pada tahun 1960. Setiap angkatan siswa yang belajar rudal tersebut dinamakan Naya. Sesuai dengan petunjuk dari Mabes AURI bahwa pembelian itu bersifat dadakan, sehingga tim TNI AU juga tidak berlama-lama di negara tirai besi. Dalam kunjungan sekitar sebulan itu dibicarakan segala sesuatu mulai dari jumlah yang akan dibeli, bagaimana pengirimannya, bagaimana dan dimana pendidikannya hingga garansi lainnya yang mesti tertera di dalam kontrak.
Replika rudal SA-2 dibawa dalam sebuah parade di Malioboro, Yogyakarta
Sementara program pendidikan awak dan teknisi berjalan, di Tanah Air dilakukan persiapan, mulai dari pembangunan hanggar, shelter dan mess. Pada tahun 1962, ada seratus personel yang direkrut dari bintara-bintara yang bertugas di satuan-satuan radar AURI, untuk belajar sistem rudal. Pendidikan radar rudal dilaksanakan di Polandia. Di sana pendidikan khusus bagi calon operator radar di skadron rudal di laksanakan.
Kedatangan SAM-75 mewujudkan sebuah sistem pertahanan udara yang canggih kala itu. Ditambah lagi, puluhan pesawat tempur dan artileri-artileri pertahanan udara telah dimiliki AURI. SAM yang baru diproduksi 1956 dan ditempatkan dalam skala besar di beberapa titik di Uni Soviet pada 1958, tak pelak lagi menjadi pergunjingan sehebat Tu-16 dan MiG-21 yang telah hadir lebih dulu. Bahkan pada tahun-tahun itu, hanya negara Pakta Warsawa yang diijinkan menggelar alutsista tersebut. Maka sangat mencurigakan bila Indonesia yang jauh di seberang lautan, tiba-tiba berhasil mendapatkan persenjataan tersebut.
Rudal SA-2 ditampilkan utuh di Museum Dirgantara, Yogyakarta
Rudal SA-2 dan truck Zil
SA-2 Sang Perisai Ibukota
Bila terjadi insiden pertempuran yang melibatkan operasi udara, sangat wajar bila target utama yang disasar adalah Ibukota RI, Jakarta. Dan SA-2 pun dihadirkan tak lain untuk mengamankan wilayah udara di beberapa instalasi strategis, termasuk Jakarta.
Dengan Skep Men/Pangau Nomor 53 Tahun 1963 tanggal 12 September 1963, dalam rangka mempertahankan wilayah kedaulatan udara nasional, dilakukan pembagian unsur-unsur rudal Hanud dalam pelaksanaan operasi, berada di bawah naungan Wing Pertahanan Udara (WPU) 100, membawahi 3 skadron peluncur dan 1 skadron teknik peluru kendali Yaitu :
1. Skadron 101 Peluncur peluru kendali darat ke udara SA-75 (di Cilodong)
2. Skadron 102 Peluncur peluru kendali darat ke udara SA-75 (di Tangerang)
3. Skadron 103 Peluncur peluru kendali darat ke udara SA-75 (di Cilincing)
4. Skadron Teknik 104 Penyiap Peluru Kendali (di Pondok Gede).
Proses loading SA-2 dari truck pembawa ke ground mounted
Tugas dari pada WPU 100 Peluru Kendali, pertama adalah mengatur, mengkoordinasikan dan memimpin langsung kegiatan-kegiatan dalam rangka pertahanan udara yang meliputi usaha penghancuran dengan peluru kendali terhadap sasaran-sasaran musuh/lawan, baik didalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia. Kedua adalah mengatur, mengkoordinasikan dan mengawasi latihan yang membawa semua kesatuan yang dibawahnya dalam keadaan siaga.
WPU 100 Peluru Kendali berpangkalan di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Rencananya juga akan ditempatkan di Bekasi dan Surabaya, namun perangnya (Trikora) urung. Surabaya pertimbangannya karena di sana pusat Angkatan Laut. Kalau tiga skadron pertama merupakan skadron operasional, maka Skadron 104 merupakan skadron penyiap (Satpen) yang bertanggungjawab menyiapkan rudal-rudal yang akan ditempatkan di ketiga skadron operasional.
Nyaris Terjadi Insiden
Selama kampanye Trikora, SA-2 disiapkan membentengi Jakarta, tak banyak cerita seputar masa genting itu, mengingat pada 1962 Belanda dan Indonesia sepakat menyelesaikan pertikaian di meja runding. Namun satu peristiwa pantas disimak dengan keberadaan SA-2 adalah pada suatu saat radar rudal menangkap adanya target dalam jarak tembaknya. Seperti biasa, anggota Skadron Peluncur 102 bersiaga seperti hari-hari sebelumnya. Namun, tiba-tiba keluar perintah yang menegangkan, bahwa sebuah pesawat intai strategis U-2 Dragon Lady melintas di Teluk Jakarta. Kejadian itu segera dilaporkan ke Panglima Kohanud. Oleh panglima diteruskan kepada Presiden lewat jalur ‘telepon merah’ untuk menunggu perintah selanjutnya. Sementara operator radar sudah mengunci posisi U-2.
SA-2 juga aktif digunakan di wilayah Arab dan Timur Tengah
Bisa dibayangkan bila Bung Karno saat itu ada di tempat ketika telepon berdering dari Panglima Kohanud, tidak seorang pun bisa membayangkan bagaimana perang yang akan terjadi kemudian. Namun saat itu, RI-1 sedang tidak ada di tempat dan target kemudian melarikan diri.
SA-2 dan Truk Zil-131 milik AD Jerman Timur saat era Perang Dingin
Menurut sumber dari Wikipedia, hingga saat ini rudal SA-2 sudah diproduksi sekitar 4600 unit dalam berbagai varian. Sebagian besar penggunanya jelas para negara-negara sahabat Uni Soviet/Rusia. Di lingkungan ASEAN, tercatat hanya Vietnam yang juga pernah mengoperasikan rudal ini. Sebagai rudal yang dikendalikan lewat gelombang radio, SA-2 rawan menghadapi aksi jamming, untuk itu pihak Rusia berhenti menggunakan rudal ini pada tahun 1980, dan kini mengadopsi rudal anti serangan udara yang superior, yakni SA-10/SA-12, atau juga dikenal dengan subutan keluarga rudal S-300. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Spesifikasi SA-2
Pabrik : Lavochkin OKB
Berat : 2.300 kg
Panjang : 10,6 meter
Diameter : 0,7 meter
Penggerak : Solid fuel booster dan liquid fuel upper stage operational
Hulu ledak : 200 kg
Daya jangkau : 45 km
Batas ketinggian: 20.000 meter
Kecepatan : 3,5 Mach
Pengendali : radio
h1

Styx : Rudal Anti Kapal Pertama TNI AL

30/05/2011

Rasanya nyaris terlupakan, jauh-jauh hari sebelum TNI AL mengoperasikan rudal anti kapal modern, macam keluarga Exocet, Harpoon, C-802 dan Yakhont, di masa revolusi awal tahun 60-an, TNI AL nyatanya juga sudah memiliki rudal anti kapal. Sesuai iklim politik pada saat itu, pasokan alutsista modern kala itu dipasok oleh Uni Soviet dan negara-negara pakta Warsawa lainnya. Rudal anti kapal pertama yang dioperasikan TNI AL adalah P-15 Termit, atau dalam kode NATO disebut sebagai Styx (SS-N-2).
Sytx didatangkan waktu itu guna keperluan kampanye militer dalam operasi Trikora merebut Irian Jaya. Sebagai rudal anti kapal yang lahir di era perang dingin, Styx dirancang dengan kemampuan dan daya hancur tinggi, tak ayal Styx memang punya daya deteren amat tinggi di era tersebut. Indikatornya bisa dilihat dari berat hulu ledaknya yang mencapai 500 kg high explosive, sementara bobot rudal secara keseleruhan 2,340 kg dengan jangkauan efektif mencapai 40 km, meski dalam teorinya bisa mencapai jarak 80 km.
Styx AL Uni Soviet dalam sebuah defile
Styx diluncurkan dengan beberapa pilihan sistem pemandu, mulai dari auto pilot, acitive radar, hingga pemandu berdasarkan infra merah. Untuk opsi pemandu radar biasanya didukung perangkat Electronic Support Measures (ESM) dan radar Garpun yang akan menuntun rudal antara jarak 5,5 dan 27 km dari batas target. Sensor pembidik pada rudal akan aktif mulai 11 km dari target sasaran, saat itu posisi rudal akan turun 1-2 derajat dari level target. Rudal maut ini umumnya meluncur sekitar 120 hingga 300 meter dari permukaan laut dengan kecepatan sub sonic 0,9 mach.
Kapal Cepat Komar saat melepaskan Styx
Walau saat didengungkannya operasi Trikora TNI AL juga mengoperasikan kapal penjelajah berat, KRI Irian, tapi Styx justru hadir dalam platform kapal cepat berpeluru kendali (fast attack craft missile) kelas Komar. Kapal cepat kelas Komar didatangkan TNI AL dari Uni Soviet pada periode 1961 – 1965. Jumlah yang dimiliki TNI AL pun cukup siginifikan, yakni mencapai 12 kapal yang masuk dalam jajaran armada KCR (Kapal Cepar Roket/Rudal) sebutan populer pada saat itu.
Kapal Cepat Komar tampak dari depan dengan dua tabung peluncur Sytx

Masing-masing kapal dapat membawa 2 unit rudal, nama-nama kapal kelas Komar TNI AL diambil dari nama senjata dari cerita pewayangan, yakni KRI Kelaplintah (601), KRI Kalmisani (602), KRI Sarpawasesa (603), KRI Sarpamina (604), KRI Pulanggeni (605), KRI Kalanada (606), KRI Hardadedali (607), KRI Sarotama (608), KRI Ratjabala (609), KRI Tristusta (610), KRI Nagapasa (611) dan KRI Gwawidjaja (612). Sebagai kapal cepat berudal, kelas Komar diawaki secara terbatas oleh 10 – 11 personel.
Dengan 4 mesin sub diesel, kelas Komar dapat ngebut hingga kecepatan 30 knot. Tidak ada informasi berapa unit Styx yang dimiliki TNI AL. Tapi dalam hitung-hitungan standar, idealnya dengan 12 kapal setidaknya TNI AL memilliki minimal 24 unit rudal Styx. ”Sayang” hingga akhir masa baktinya Styx di Indonesia belum pernah membuktikan kesaktiannya secara langsung, walau bila dicermati alutisista ini juga berperan dalam kampanye militer “perang urat saraf” yang membuat nyali Belanda ciut.
Dari beberapa informasi, kapal cepat kelas Komar ternyata masih dioperasikan TNI AL hingga tahun 1978. Sebuah usia yang lumayan panjang untuk kelas kapal dari Uni Soviet, mengingat beberapa alutsista sejawat asal Uni Soviet sudah keburu di grounded akibat embargo suku cadang. Bahkan informasi dari Janes’s Fighting Ship (1983 – 1984) menyebutkan Komar baru dipensiunkan TNI AL pada tahun 1985. Meski Komar bisa digunakan terus sampai 1985, kemungkinan lewat kanibalisasi suku cadang, rasanya masih harus dipertanyakan tentang fungsi dan operasional rudal Styx, mengingat rudal meski hanya dalam kondisi standby tetap memerlukan pemeliharan dan update suku cadang.

Besar kemungkinan Komar hingga akhir hayatnya tetap digunakan sebagai kapal patroli, pasalnya Komar masih sedikit bergigi dengan kanon kembar anti pesawat kaliber 25mm di dek depan. Sebagai kenang-kenangan kejayaan masa lalu, salah satu Styx kini bisa dijumpai sebagai monumen yang menghiasi halaman depan Markas Komando RI Kawasan Barat di Jakarta.
Born to Fight
Styx bisa dibilang jenis rudal yang legendaris dan meraih predikat rudal buatan Uni Soviet yang battle proven. Styx masuk dalam sejarah sebagai senjata yang mengubah pola peperangan di laut. Sejak mulai dioperasikan Uni Soviet pada tahun 1959, Styx telah dipasang pada 100 kapal serang cepat kelas Komar, dimana 70 diantaranya dikirimkan ke berbagai sekutu Soviet, termasuk 12 unit yang dijual ke Indonesia.
Pamor Styx mencuat saat digunakan dalam konflik antara Mesir dan Isreal. Saat itu, 21 Oktober 1967, dua kapal Komar milik Angkatan Laut Mesir meluncurkan Styx terhadap kapal berbendera Angkatan Laut Isreal, yakni perusak Eilat. Kedua kapal Mesir itu menembakkan rudalnya dari pangkalan di pelabuhan Alexanderia, dan berhasil mengkaramkan kapal perusak tersebut. Alhasil dunia pun gempar, sebab ini pertama kali sebuah kapal perang dapat ditenggelamkan dengan rudal.
Styx juga dapat dilepaskan dari platform kendaraan tempur di darat
Kapal serang komar dan Styx kemudian beraksi kembali dalam perang Vietnam. Di bulan April 1972, Komar milik Vietnam Utara berhasil menyerang kapal penjelajah USS Sterett yang sedang membombardir sasaran di pantai Vietnam. Tapi kali ini Styx tak berhasil mengkandaskan kapal sasaran, Styx yang diluncurkan dari kapal Vietnam Utara berhasil disergap oleh rudal darat ke udara RIM-2 Terrier yang dilepeaskan dari USS Sterett. Kejadian ini pun tercatat dalam sejarah sebagai pertama kalinya rudal dapat dihancurkan oleh rudal dalam perang.
RIM-2, rudal darat ke udara penangkis serangan Styx
Styx dan Osa Class
Selain duet antara Styx dan kapal serang tipe Komar, Styx juga menjalin duet dengan kapal serang kelas Osa yang dioperasikan Uni Soviet oleh keempat armadanya di Laut Utara, Laut Baltik, Laut hitam dan Pasifik. Rudal Styx pada Osa juga sudah mengalami peningkatan dari Styx versi pertama. Prestasi Styx dan Osa sudah tercatat dalam perang India vs Pakistan di tahun 1971. Dalam perang ini, kapal cepat Osa milik AL India dengan Styx-nya berhasil mengkandaskan kapal perusak Khaibar.
Kapal Serang Rudal kelas Osa, membawa 4 tabung peluncur Styx
Masih ada beragam kisah ‘penugasan’ Styx diberbagai belahan dunia, seperti pada kampanye militer pada krisis rudal Kuba pada tahun 1962. Bahkan varian Styx buatan Cina, yang disebut “Silkworm” juga dilibatkan dalam perang Iran – Irak di tahun 1980 – 1988. Kiprah tempur terakhir keluarga Styx dibuktikan dalam perang Teluk di tahun 1991, saat itu dua rudal Silkworm ditembakkan ke arah kapal penjelajah USS Mussouri, salah satu diantaranya berhasil ditembak jatuh oleh rudal Sea Dart yang diluncurkan dari kapal perusak Inggris, HMS Gloucester.
Sea Dart, sukses membungkam Styx
Pihak lawan Uni Soviet, alias dari AS dan NATO rupanya telah berhasil mengacaukan kendali Styx lewat teknologi electronic countermeasures (jamming). Ini dibuktikan saat Styx digunakan oleh Suriah dan AL Mesir dikala melawan Isreal dalam perang Arab – Isreal.
Hingga kini ribuan Styx dan kloningannya Silkworm dipercaya telah diproduksi ribuan unit. AL Jerman Timur setelah reunifikasi memberikan hampir 200 Styx ke AL Amerika di tahun 1991, terutama dari versi P-15M/P-22. AL Amerika menggunakan Styx untuk tes pertahanan rudal. Untuk Indonesia, Styx memang sudah tinggal kenangan, tapi setidaknya kita boleh berbesar hati sedikit, di Asia Tenggara hanya Indonesia dan Vietnam yang pernah menggunakan rudal sangar ini. (Haryo Adjie Nogo Seno)

Spesifikasi Styx/P-15 Termit
Asal : Uni Soviet
Produsen : MKB Raduga
Berat : 2,340 kg
Panjang : 5,8 meter
Diameter : 0,76 meter
Hulu ledak : 500 kg
Penggerak : roket berbahan bakar cair/booster dengan roket berbahan bakar padat
Lebar sayap : 2,4 meter
Jangakaun : 80 km, efektif 40 Km
Kecepatan : 0,9 Mach
Ketinggian Terbang : 100 -300 meter di atas permukaan laut
Pemandu : sistem auto pilot, radar aktif, dan infra merah
Platform peluncuran : kapal perang dan ground launch.
h1

Kennel : Rudal Bongsor “Penakluk” Karel Doorman

17/05/2011
AS-1 Kennel TNI-AU di Museum Dirgantara Yogyakarta
Jauh sebelum era Exocet, Harpoon, C-802 dan Yakhont, TNI di tahun 60-an sudah mempunyai rudal lintas cakrawala, alias over the horizon. Rudal yang dimaksud adalah AS-1 Kennel. Rudal ini terbilang fenomenal saat itu dan kenangannya masih cukup menarik untuk disimak hingga saat ini, pasalnya ukuran rudal jelajah ini super bongsor ini dan sampai kini cuma Indonesia, negara di kawasan Asia Tenggara yang punya riwayat mengoperasikan rudal yang masuk kategori heavy missile tersebut. Walau teknologi dan platformnya ketinggalan jauh dengan rudal Tomahawk milik AS, tapi saat operasi Trikora dikobarkan Ir. Soekarno, daya deteren Kennel nyatanya mampu membuat pusing pihak Belanda, Amerika Serikat dan NATO.
AS-1 Kennel (dalam kode aslinya dari Uni Soviet disebut KS-1 Komet) merupakan rudal antikapal permukaan yang diproduksi Uni Soviet pada 1953 dengan basis konstruksi pesawat MIG-15 dan MIG-17. Rudal yang disiapkan untuk dibopong bomber strategis Tupolev Tu-16 Badger B Ini dibuat setelah desakan AL Uni Soviet kala itu untuk memiliki rudal jelajah antikapal. Tu-16 mampu membawa sekaligus dua rudal seberat lebih dari 3 ton ini di kedua sayapnya. AS-1 yang berkecepatan sub sonic ditenagai mesin turbojet yang mampu membuatnya mampu menjangkau sasaran sejauh 100 km.
AS-1 Kennel di sayap pembom Tu-16 TNI AU
Tampilan belakang AS-1 Kennel pada sayap Tu-16
Dengan bobot sekitar 3 ton, AS-1 dibekali hulu ledak seberat 600 Kg High Explosive. Tak ayal dengan daya hantam yang menakutkan membuat kala konflik Indonesia vs Belanda, rudal ini menjadi salah satu alutsista TNI yang sangat diperhitungkan oleh militer Belanda. Bahkan beberapa analis menyatakan, kapal induk kebanggaan Belanda yang kala itu ikut manggal di perairan Irian (HNLMS Karel Doorman) dapat dihancurkan dengan dua hantaman rudal Kennel.
AS-1 dirancang oleh A. Ya Bereznyak dari Mikoyan’s di kota Dhubna, Uni Soviet. Cara kerja rudal ini adalah setelah operator memprogram autopilotnya untuk diluncurkan dan menanjak dan menggunakan radar semiaktif untuk sistem terminal flight. Rudal ini diperkirakan mulai operasional pada sekitar tahun 1961. Sayang tidak ada informasi yang pasti tentang jumlah Kennel yang dibeli oleh Indonesia. Tapi bila sekedar ingin melihat sosok rudal ber-air intake ini bisa dijumpai di Museum Dirgantara Yogyakarta.
Tampilan 3 dimensi AS-1 Kennel
Generasi penerus Kennel, yakni SSC-2a Salish sebagai senjata pertahanan anti kapal di garis pantai
SSC-2b Samlet yang ditempatkan pada truk ZIL
AS-1 Kennel sendiri umurnya tak terlalu panjang, Uni Soviet hanya mengoperasikan rudal ini dalam rentang 1955 sampai 1961. Seiring hangat-hangatnya lomba senjata dalam Perang Dingin, pihak Uni Soviet lalu mengembangkan rudal lain dalam platform Kennel, yakni masing-masing SSC-2a Salish dan SSC-2b Samlet. Jika Salish diluncurkan dari kendaraan semitrailer yang menarik truk traktor peluncur KrAz-214, maka Samlet adalah rudal pantai yang diluncurkan dari truk ZIL-157V. Secara umum AS-1 yang selintas nyaris sebesar MIG-15 memiliki panjang 8,2 meter (MIG : 10,11 m), rentang sayap 4,9 meter dan kecepatan 0,9 mach. Sejauh ini yang diketahui mengoperasikan selain Uni Soviet (Rusia) adalah Indonesia dan Mesir. (Haryo Adjie Nogo Seno)

Uji Coba Kennel

Hingga akhir pengabdiannya, Kennel bersaman dengan dihapusnya pengembom Tu-16 Ks, tidak pernah sekalipun digunakan dalam operasi militer. Tapi itu bukan berarti rudal bongsor ini tak pernah ditembakkan di wilayah Indonesia.
Saat pelepasan rudal Kennel dari Tu-16 TNI AU
Kennel paling tidak pernah dilakukan uji coba penembakkan sekitar tahun 1964-1965. Kennel ditembakkan ke sebuah pulau karang di tengah laut, persisnya antara Bali dan Ujung Pandang. “Nama pulaunya Arakan,” aku Hendro Subroto, mantan wartawan TVRI. Dalam uji coba, Hendro mengikuti dari sebuah C-130 Hercules bersama KSAU Omar Dhani. Usai peluncuran, Hercules mendarat di Denpasar. Dari Denpasar, dengan menumpang helikopter Mi-6, KSAU dan rombongan terbang ke Arakan melihat perkenaan. “Tepat di tengah, plat bajanya bolong,” jelas Hendro.
Spesifikasi AS-1 Kennel
Kode soviet : KS-1 Komet
Propulsi : turbojet
Pemandu : terminal active radar terminal homing
Hulu ledak : 600 kg HE
Penggerak : RD-500K turbojet
Jangkauan : 140 km
Berat lontar : 3000 kg
Panjang : 8,29 meter
Diameter : 1,20 meter
Pabrik : Mikoyan
Platform : Tu-16 Badger

h1

Harpoon : Rudal Canggih Yang “Loyo” Akibat Embargo Militer

08/05/2011

Setelah sempat berjaya di era 60-an, kembali di awal dekade 90-an TNI AL menjadi kekuatan laut di Asia Tenggara yang tampil dengan kemampuan serta daya getar tingggi. Hal ini bukan lantaran kala itu Indonesia menjadi satu-satunya pengguna armada kapal selam di kawasan ASEAN, lebih dari itu, TNI AL pada dua dekade lalu memiliki alutsista rudal anti kapal (SSM/surface to surface missile) dari jenis Harpoon buatan McDonnell Douglas (saat ini telah diakuisisi oleh Boeing Defence), Amerika Serikat.
Sebagai rudal anti kapal, Harpoon dapat diluncurkan dari beragam platform. Walau populer diluncurkan dari kapal perang (frigat atau destroyer). Dalam gelar operasinya, Harpoon mampu diluncurkan dari pesawat tempur, truk, dan hebatnya bisa diluncurkandari kapal selam. Bila disimak, fungsi dan peran operasinya bisa disejajarkan dengan keluarga rudal Exocet dan Yakhont. Berkat hadirnya Harpoon, jadilah dekade 90-an TNI-AL memiliki dua rudal SSM modern, yakni Exocet MM-38 dan Harpoon.
Ditilik dari spesifikasinya, Harpoon adalah rudal over the horizon, artinya dapat menghantam sasaran di luar batas cakrawala. Hal tersebut bisa dimungkinkan karena jangkauan Harpoon yang bisa mencapai 100 Km lebih. Dengan ragam multi platform peluncuran, Harpoon dibagi dalam beberapa tipe, untuk Harpoon yang diluncurkan dari kapal dan truk yakni RGM-84A, sedang yang diuncurkan dari pesawat yakni AGM-84, dan yang diluncurkan dari kapal selam disebut UGM-84A.
F-16 Fighting Falcon mampu menggotong AGM-84 Harpoon
Indonesia termasuk negara yang beruntung ikut mengoperasikan rudal ini, di kawasan ASEAN diketahui Singapura juga mengadopsi Harpoon. Bila Indonesia “hanya” memiliki jenis RGM-84, maka Singapura sudah mengadopsi jenis RGM-84 Harpoon untuk kelas FPB (fast patrol boat) dan jenis AGM-84 yang ditempatkan pada pesawat patroli maritim MPA (maritim patrol aircraft) Fokker 50.
Sejak diluncurkan pertama kali pada tahun 1977, saat ini populasi Harpoon diperkirakan telah mencapai 7000 unit lebih. Karena sudah hadir cukup lama, Harpoon hingga kini sudah dibuat dalam beberapa versi upgrade untuk perbaikan performa. Menurut situ Wikipedia, TNI AL disebutkan memiliki jenis rudal Harpoon versi Block 1D. Harpoon Block 1D mempunyai keunggulan pada ukuran fuel tank yang lebih besar. Block 1D mulai diproduksi pada akhir tahun 80-an, dan produksinya tak dilanjutkan pada tahun 1992 lantaran AS lebih fokus pada hangatnya isu konflik dengan Pakta Warsawa. Harpoon Block 1D dirancang untuk jenis RGM/AGM-84, jarak tembak secara teorinya bisa mencapai 124 Km, jarak tembak tergantung dari jenis platform peluncuran.
Anatomi rudal Harpoon
Kedatangan Harpoon di Indonesia menjadi satu paket dengan hadirnya frigat kelas Van Speijk dari Belanda. Setiap frigat Van Speijk dapat membawa 8 tabung peluncur. TNI AL sendiri memiliki enam jenis frigat Van Speijk. Tak ada informasi yang jelas mengenai berapa unit Harpoon yang dibeli TNI AL. Dalam hitung-hitungan standar, setidaknya (harusnya) TNI AL minimal punya 48 unit Harpoon. Ini diasumsikan bila satu frigat Van Speijk benar-benar dipersiapkan dengan 8 Harpoon.
Harpoon yang dimiliki TNI AL dikendalikan sistem monitor Sea skimming lewat radar altimeter/active radar terminal homing. Ditinjau dari segi kecepatan, Harpoon digolongkan sebagai rudal sub sonic, kecepatan luncur Harpoon yakni 867 Km per jam atau 240 meter per detik. Bila ditilik dari elemen kecepatan, Harpoon dan Exocet MM-38 sama-sama masuk kategori rudal sub sonic. TNI AL baru merasakan era rudal SSM super sonic semenjak kehadiran rudal Yakhont dari Rusia.
KRI Karel Satsuit Tubun (356), salah satu frigat TNI AL yang mampu meluncurkan Harpoon
Jika dihitung dari segi usia, jelas Harpoon Block 1D kini sudah masuk usia uzur, dan bahkan mungkin sudah tak layak operasi. TNI AL pun sebenarnya sudah berusaha memperbaharui performa Harpoon, baik dari kelengkapan suku cadang hingga pengadaan jenis terbaru. Sedikit kilas balik, akibat insiden penembakan di Timor Timur pada tahun 1991, militer Indonesia terkena embargo senjata dari Amerika Serikat, hal ini berujung paa macetnya pasokan komponen dan alat pendukung Harpoon, akibatnya Harpoon TNI AL tak bisa dioperasikan.
RGM-84 Harpoon saat meluncur dari USS Leahy
Lepas dari soal embargo, hadirnya Harpoon di Indonesia sedikit banyak juga membuat Australia resah dan merasa terancam. Australia sempat menyiratkan ketidaksukaannya, apalagi disaat yang sama TNI AU juga kedatangan penempur termodern saat itu, F-16 Fighting Falcon. Kabarnya Australia pernah melayangkan protes mengenai hal ini ke pemerintah AS yang merestui penjualan senjata ini. Dan entah kebetulan atau karena rekayasa, pada akhirnya protes Australia “terkabul”, F-16 dan Harpoon Indonesia berhasil dibuat loyo. Sebagai informasi, Harpoon juga dioperasikan oleh Angkatan Laut dan Angkatan Udara Australia.
Seiring bergulirnya era Reformasi di tahun 2005, embargo militer AS kini telah dicabut. Dan TNI pun tak ‘kapok’ pada peralatan tempur dari AS. Dikutip dari Kapablagi.com (5/12/2005), KSAL Laksamana Slamet Soebijanto menyatakan, pasca pemcabutan embargo militer oleh AS, TNI AL akan membeli rudal Harpoon. “Rudal Harpoon itu untuk kelengkapan kapal perang. Mengenai kapan waktu dan kebutuhannya, kami akan bicarakan lebih lanjut,” ujar Slamet.
Sementara itu Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) Kasal Mayjen TNI (Mar) Yussuf Solichien mengemukakan, rudal Harpoon itu nantinya akan melengkapi persenjataan dari kapal jenis fregat. “Kekuatannya hampir sama dengan rudal Exocet MM 38 yang jarak jangkaunya sekitar 80 hingga 100 kilometer. Kita memiliki peralatan untuk rudal Harpoon itu, tapi sudah tidak dipakai sejak lima tahun lalu,” katanya. Ia menjelaskan, sebelum membeli rudal harpoon, TNI AL akan membeli rudal Yakhount dari Rusia untuk dua kapal fregat yang memiliki daya jangkau lebih jauh, yakni sekitar 300 Kilometer. Rudal dengan harga sekitar empat juta dolar AS itu akan ditempatkan di satu kapal frigat dan direalisasikan 2006.
AGM-84 saat dipasang pada sayap F-18 Hornet US Navy
Dewasa ini Harpoon terus digunakan oleh AS dan sekutunya, Harpoon dimodifikasi untuk meningkatkan performa daya gempurnya, seperti versi block 1J/block1G/blockII dan yang termutakhir block III. Pada Harpoon block III, rudal ini mampu diluncurkan dengan pola VLS (vertical launching system), artinya rudal bisa ditembakkan dari posisi meluncur ke atas untuk selanjutnya mencari target sasaran sesuai koordinat yang sudah ditentukan. Pola VLS mirip yang diterapkan pada rudal jelajah Tomahawk dan rudal anti kapal Yakhont.
UGM-84 Harpoon saat lepas ke permukaan, setelah diluncurkan dari kapal selam
TNI AL Jajal Harpoon

RGM-84 Harpoon TNI AL, saat uji coba penembakkan
Pada tahun 1989 (sebelum Indonesia terkena embago senjata dari AS), TNI melaksanakan program Latihan Gabungan Laut (Latgabla) II yang berlangsung dari tanggal 23 Oktober sampai dengan 28 Oktober 1989. Dalam latihan tersebut TNI AL melakukan uji coba penembakkan Harpoon dari KRI Yos Sudarso (352). Sebagai sasaran rudal Harpoon adalah eks KRI Hiu, yang cukup menarik dalam uji coba ini sang rudal saat meluncur ke sasaran turur diikuti oleh pesawat tempur F-5 E/F Tiger TNI AU dari skadron 14. Dalam uji coba, antara Harpoon dan F-5 sempat hanya berjarak 10 meter. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Spesifikasi Harpoon
Berat dengan booster : 691 Kg
Panjang : 4,6 meter (versi surface to surface) dan 3,8 meter (versi air to surface)
Diameter : 0,43 meter
Lebar Sayap : 0,91 meter
Berat Hulu Ledak : 221 Kg
Penggerak : Teledyne Turbojet/solid propellant booster
Kecepatan : 864 Km per jam
Pemandu : Sea skimming radar altimeter/active radar terminal homing
h1

QW-3 : Rudal Panggul Andalan Paskhas TNI AU

19/04/2011

Setelah cukup lama tak mengoperasikan rudal, akhirnya saat ini Korps Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU kembali dipercaya mengoperasikan rudal anti serangan udara alias SAM (surface to air missile). Tapi beda dari tahun 60-an, kala itu TNI AU punya arsenal monster SAM SA-2 , yakni rudal berjangkauan jarak sedang yang punya kecepatan 3,5 Mach dan jadi momok menakutkan bagi pesawat tempur NATO.
Nah, lima dekade telah berlalu, saat ini Paskhas TNI AU sayangnya tak lagi mengoperasikan rudal hanud (pertahanan udara) jarak sedang. Konon sesuai kebutuhan strategis, Paskhas TNI AU kini justru mengusung alutsista berupa rudal SAM jarak pendek, rudal yang dimaksud tak lain adalah QW (QianWei)-3 buatan CPMIEC (China National Machinery Import and Export), RRC. QW-3 terbilang alutsista anyar di lingkungan TNI, rudal ringan ini kabarnya baru masuk ke arsenal alutsista TNI AU pada kuartal kedua tahun 2010 lalu. Salah satu kesatuan Paskhas yang pertama mengoperasikan QW-3 yakni Skadron Paskhas 463 di Madiun, Jawa Timur.
Ditilik dari spesifikasinya, QW-3 merupakan jenis rudal panggul hanud permukaan ke udara untuk menghadapi sasaran pesawat tempur berkecepatan tinggi/rendah dengan ketinggian rendah maupun sangat rendah. Sebagai rudal hanud berjangkauan jarak pendek, jarak tembak maksimumnya hanya sampai 8 Km dengan ketinggian maksimum 5 Km. Dilihat dari profilnya jelas QW-3 amat ideal menghantam pesawat tempur atau helikopter lawan yang terbang di ketinggian rendah.
Tak seperti rudal panggul (portable) yang ada saat ini, QW-3 yang pertama kali diperkenalkan pada Zhuhai Air Show di Cina tahun 2002, tak menggunakan sistem pemandu passive infra red. Rudal ini justru menggunakan pemandu semi aktif laser yang ditempatkan pada bagian moncongnya. Dengan pemandu laser, rudal ini relatif tahan terhadap flare (pengecoh panas) yang diluncurkan pesawat sasaran. Teknologi lain yang melengkapi QW-3 adalah anti jamming. Untuk mendukung manuver tinggi saat menguber dan menghancurkan, rudal ini dilengkapi teknologi mikro komputer.
Tampilan utuh QW-3
Tak mudah bagi pesawat untuk lolos bila telah dikunci oleh rudal ini, kecepatan luncur rudal ini terbilang fantastis untuk kelas rudal panggul, yakni 750 meter per detik, atau sekitar 2,7 Mach. Hulu ledaknya mengadopsi jenis high-explosive fragmentation dengan radius mematikan 3 meter.
Keunggulan lain dari rudal ini dapat membuat analisa logis dari energi target dan karakteristik gerakan dari target serta mengenali target secara efektif tanpa hambatan. Adapaun sistem perlengkapan rudal QW 3 dan BCU (Battery Coolant Unit) tersimpan dalam wadah tertutup rapat (kedap udara, anti kelembaban tahan lama), ukurannya kecil dan portable, sehingga dapat diaplikasikan pada kendaraan tempur (tank, mobil tempur dan kendaraan lainnya).
Platform peluncur QW-3
Sebagai rudal panggul, pengoperasian QW-3 terbilang sederhana dan punya mobilitas sangat tinggi. QW-3 diawaki oleh seorang juru tembak dengan posisi menembak berdiri. Selain bisa dioperasikan lewat panggul oleh seorang prajurit, untuk menjaga ke stabilan rudal seberat 23 Kg ini juga dipasangkan pada dudukan tripod pada kendaraan jip.
Saat digunakan oleh Paskhas, QW-3 tercatat sudah beberapa kali diujicoba, seperi di Garut, Jawa Barat pada 9 Juli 2010. Rudal yang diujicoba sebanyak empat buah. Sasaran tembaknya adalah beberapa pesawat yang menggunakan remote control, “tujuan kegiatan ini untuk mengetahui ketepatan maksimal sasaran tembak. Hasil uji coba cukup berhasil karena tepat mengenai sasaran,” ujar Kepala Penerangan Pasukan Khas TNI AU Lanud Sulaeman, Letnan Kolonel Sus Ahmad Nairiza, dikutip dari Tempointeraktif.com (9/7/2010).
QW-3 milik Paskhas dipasang dalam platform tripod di kendaraan jip
Selain di Garut, sebelumnya QW-3 juga diujicoba di pantai selatan kabupaten Pacitan pada kamis (10/6/2010) disaksikan oleh para pejabat TNI AU, Dephan, dan Mabes TNI. Kegiatan uji tembak tersebut dapat berjalan dengan lancar dan cukup berhasil ditandai dengan tembakan Rudal mengenai sasaran tembak berupa pesawat target drone. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Spesifikasi QW-3
Panjang : 2,1 meter
Berat : 23 Kg
Jangkauan : 0,8 – 8 Km
Ketinggian max : 5 Km
Kecepatan luncur : 750 meter per detik/2700 Km per jam
Hulu ledak : high-explosive fragmentation
Mesin : Roket berbahan bakar padat
Pemandu : semi aktif laser
h1

Sea Cat : Rudal Hanud TNI AL Era 80an

10/04/2011
Sea Cat meluncur dari sebuah Frigat Royal Navy
Pada era tahun 80an, saat Arhanud TNI AD mengandalkan rudal Rapier sebagai ujung tombak alutsista pertahanan udara, maka di matra lain, yakni TNI AL juga memiliki rudal anti serangan udara yang canggih pada masanya. Rudal kategori SAM (surface to air missile) yang dimaksud adalah Sea Cat buatan Short Brothers, Inggris. Sebagai platform rudal anti serangan udara, sistem peluncur Sea Cat sudah ‘ditanam’ pada frigat TNI AL.
Dalam catatan, setidaknya ada 9 frigat TNI AL yang mengusung Sea Cat. Tiga frigat pertama adalah dari kelas Tribal, yakni KRI Martha Kristina Tiyahahu (331), KRI Hassanudin (333) dan KRI Wilhelmus Zakarias Yohannes (332). Ketiga frigat Tribal buatan Inggris ini dibeli bekas pakai dari Royal Navy pada periode tahun 1984-1985. Sedangkan enam frigat kedua adalah dari kelas Van Speijk buatan Belanda. Serupa dengan frigat Tribal, Van Speijk juga dibeli bekas dari Royal Netherlands Navy pada tahun 1989. Keenam frigat Van Speijk tersebut adalah KRI Ahmad Yani (351), KRI Slamet Riyadi (352), KRI Yos Sudarso (353), KRI Oswald Siahaan (354), KRI Halim Perdanakusumah (355) dan KRI Karel Satsuittubun (356).
KRI Ahmad Yani, salah satu frigat TNI AL pengusung Sea Cat
Sea Cat tengah ditembakkan dari KRI Yos Sudarso
Pada setiap frigat terdapat dua peluncur Sea Cat, dimana masing-masing peluncur dapat memuat empat rudal siap tembak. Dari spesifikasinya, Sea Cat dapat digolongkan rudal anti pesawat jarak pendek, jangkauan tembaknya maksimum 5 km. Tak seperti halnya rudal Rapier yang punya kecepatan tembak supersonic, Sea Cat hanya dirancang meluncur dengan kecepatan subsonic (0,8 Mach). Rudal berbobot 68 kg ini dirancang bermanuver dengan 4 sirip, sedangkan untuk urusan tenaganya dipercayakan pada two stage solid fuel rocket motor.
Sebagai sebuah peluru kendali, Sea Cat dalam operasionalnya dikendalikan lewat akses radio. Pada setiap peluncur terdapat seorang operator pengendali yang mengedalikan laju rudal secara remote dengan teknologi Command Line-Of-Sight (CLOS). Seperti terlihat di frigat Van Speijk TNI AL, ruang kendali operator Sea Cat terdapat tepat dibelakang peluncur. Untuk mengantisipasi cuaca buruk, pada kabin awak rudal dilengkapi wiper untuk membersihkan kaca dari air hujan.
Rangkaian platform Sea Cat, tampak peluncur dan konsol kendali CLOS yang diawaki seorang operator
Tampilan utuh Sea Cat, rudal subsonic ini menggunakan empat sirip
Pengalaman Tempur
Walau tak sebeken Rapier, Sea Cat nyatanya juga sudah teerlibat dalam beberapa kali dilibatkan dalam pertempuran. Yang mencolok adalah kiprahnya dalam perang Malvinas di tahun 1982. Karena hanya mengandalkan kecepatan subsonic, prestasi Sea Cat dalam perang Malvinas dinilia tak begitu baik. Selama berperang melawan AU Argentina, Sea Cat dikabarkan hanya mampu menembak jatuh sebuah A-4 C Skyhawk.
Peluncur Sea Cat siap tembak dengan 4 rudal

Peluncur dalam kondisi kosong, pola pemasangan rudal ke peluncur dilakukan secara manual
Pengalaman tempur Sea Cat lainnya yakni dalam India dalam berperang melawan Pakistan (1971) dan konflik perbatasan di Afrika Selatan. Dalam dua konflik terakhir ini, Sea Cat dimodifikasi menjadi Tigercat, yakni paltform rudal ini diusung untuk penggunaan di darat. Jika pada kapal perang satu pelunncur memuat empat rudal, untuk Tigercat satu peluncur hanya memuat tiga rudal. Sistem gelar Tigercat mengusung towed dari jip Land Rover. Negara penggua Tigercat yakni Argentina, India, Iran, Yordania dan Afrika Selatan. Oleh karena prestasi yang minus dalam pertempuran, beberapa negara kemudian mengganti Tigercat dengan Rapier.
Rudal Tigercat
“Kucing Laut” TNI AL
Sejak tahun 2000 lalu, populasi Sea Cat TNI AL berkurang, hal ini seiring dipensiunkannya frigat dari kelas Tribal. Frigat Tribal terbilang kapal perang tua, dirancang pada tahun 1950-an dan dioperasikan Royal Navy pada era 60 dan 70an, dan secara terbatas di awal tahun 80-an. Hal ini menandakan operasional dan performa Tribal sudah menurun drastis, apabila terus dioperasikan tentu biaya operasional yang ditanggung TNI AL akan kian besar.
KRI Hassanudin (333), salah satu frigat Tribal TNI AL yang juga mengusung Sea Cat
Maka setelah Tribal lengser, sandaran pengabdian Sea Cat hanya pada enam frigat kelas Van Speijk. Berbeda dengan frigat Tribal, kelas Van Speijk masih digunakan terus hingga saat ini lewat program repowering. Van Speijk yang umurnya sedikit lebih muda dari Tribal juga terbilang frigat canggih, sebab mengusung sudah kanon Oto Melara dan rudal SSM (surface to surface) Harpoon. Selama dioperasikan TNI AL, Sea Cat belum satu pun digunakan untuk menembak pesawat lawan. Terakhir kali Sea Cat tipe MK MOD 1 ditembakkan TNI AL dalam latihan penembakan strategis bersandikan “Operasi Halilintar” pada 8 hingga 9 Juni 2007.
Posisi penempatan peluncur Sea Cat pada frigat Tribal

Sea Cat on action
Seiring usia tua Sea Cat (mulai dioperasikan tahun 1962) dan teknologinya yang kian ketinggalan jaman, saat ini TNI AL mengganti Sea Cat di frigat Van Speijk dengan rudal Mistral dengan peluncur Simbad buatan MBDA, Prancis. Dari spesifikasi jelas Mistral lebih unggul degan kecepatan supersonic, lebih dari itu pengoperasian Sea Cat dan Mistral juga berbeda, Sea Cat mengusung sistem kendali penembakan lewat radio, sebalinya Mistral Simbad berupa rudal manpad dengan penuntun laser. Adopsi Mistral Simbad oleh TNI AL juga untuk melengkapi sista SAM di frigat kelas Parchim. Di lingkungan Royal Navy, Sea Cat digantikan rudal yang jauh lebih handal dalam kecepatan dan jangkauan, seperti Sea Wolf dan Sea Dart.
Meski dikabarkan telah pensiun, faktanya pada Rabu, 20 April 2011, rudal Sea Cat kembali di ujicoba oleh TNI AL. Sea Cat dilepaskan dari frigat KRI Karel Satsuittubun (356) di perairan Samudera Hindia. Uji rudal Sea Cat juga bersamaan dengan ujicoba rudal Yakhont, Exocet MM-40, Mistral, torpedo SUT dan roket anti kapal selam RBU-6000. Perlu dicatat, dalam ujicoba ini, Sea Cat ditembakkan sebagai sasaran atau target untuk rudal Mistral. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Spesifikasi Sea Cat
Manufaktur : Short Brothers
Berat : 68 Kg
Panjang : 1,48 meter
Diameter : 0,22 meter
Berat Hulu Ledak : 18 Kg
Hulu Ledak : Detonation mechanism proximity
Mesin : Roket berbahan bakar padat
Kecepatan : 0,8 Mach
Lebar sirip : 0,70 meter
Jangkauan : 500 – 5.000 meter
Sistem kendali : CLOS dan radio link
h1

K-13 : Rudal Pamungkas MiG-21 AURI

05/04/2011
MiG-21 AURI dengan AA-2 Atoll
Jauh-jauh hari sebelum TNI AU mengandalkan AIM-9 P4 Sidewinder sebagai rudal pemburu andalan di F-16 Fighting Falcon, pada dekade tahun 60-an AURI (TNI AU-kini) sebenarnya juga sudah memiliki rudal udara ke udara (air to air missile) jarak dekat yang cukup canggih pada masanya. Rudal ini tak lain adalah K-13 buatan Vympel dari Uni Soviet. Pada awal kehadiran MiG-21 di Tanah Air, K-13 menjadi ikon senjata utama yang tak terpisahkan dari MiG-21 Fishbed.
K-13, dalam koden NATO disebut AA-2 Atoll, tak lain dalah rudal jarak dekat dengan jangkauan maksimum 8 Km. Yang paling menarik, desain dan konsep rudal ini memang menyadur Sidewinder, rudal legendaris milik AS. Menurut kisah yang beredar luas, pada 28 September 1958, sebuah AIM-9B yang ditembakkan dari sebuah F-86 Sabre Taiwan dengan target sebuah MiG-17 Republik Rakyat Cina tetapi tidak. Rudal tersebut hanya menancap di ekor pesawat MiG dan dibawa kembali ke pangkalan dan menjadi contoh pengembangan rudal Uni Soviet.
AA-2 Atoll (K-13) tampak dari sisi sayap samping
AA-2 Atoll (K-13) di Museum Dirgantara - Jogjakarta
K-13, atau dikenal dengan kode R-3S mulai dikembangkan pada tahun 1958 dan masuk dinas AU Uni Soviet pada tahun 1960. R-3S pertama kali diketahui negara Barat pada 196, lalu diberi kode AA-2A Atoll. Kemudian disusul oleh R-3 jenis pelacak radar semi-aktif (SARH) yang sekelas dengan AIM-9C Sidewinder yang digunakan F-8 Crusader Angkatan Laut Amerika Serikat. R-3 diberi kode NATO AA-2B. Lalu versi yang lebih mutakhir K-13M (R-13M) (IRH) dan K-13R (R-3R) (SARH) dikembangkan pada akhir 1960-an. R-13M secara kasar sekelas dengan AIM-9G Sidewinder yang digunakan oleh Angkatan Udara Amerika Serikat dengan pemicu jarak yang baru, bahan bakar baru untuk jarak yang lebih jauh, manuver yang lebih baik dan pelacak panas yang lebih sensitif. R-3P adalah versi untuk latihan. (P = prakticheskaya, untuk “latihan”).
Tentu performa AA-2 Atoll untuk ukuran saat ini sudah ketinggalan jaman, rudal ini serupa dengan konsep rudal AIM-9 P2 Sidewinder, dimana untuk menembakkan rudal pilot harus membidik musuh didepannya agar rudal dapat menuju pesawat musuh. Ini tak lain karena rudal hanya akan menuju sumber panas yang dikeluarkan dari exhaust jet tempur.
AA-2 Atoll (K-13) tampak dari sisi belakang sayap
Dilihat dari desain, K-13 memang serupa dengan Sidewinder
Insiden AA-2 Atoll
Prestasi AA-2 Atoll bisa dibilang tidak terlalu cemerlang, ada sepenggal kisah menarik yang melibatkan AA2-Atoll pada insiden Teluk Sidra di Libya pada 19 Agustus 1981. Saat itu pukul 07.00 waktu setempat, radar kapal induk USS Nimitz mengunci dua sasaran. Kedua target yang mengarah ke posisi armada ke-6 itu tak lain adalah jet tempur Su-22 Fitter AU Libya. Bukan hanya radar dari kapal induk saja, kedua pesawat yang berpangkalan di sekitar Tripoli itu juga terdeteksi oleh sebuah E-2C Hawkeye yang terbang di ketinggian 21.000 meter.
Pada saat yang sama, ada dua jet penyergap F-14 Tomcat asal Skuadron Black Aces (VF-41) tengah berpatroli udara (CAP). Tomcat pertama dengan callsign “Fast Eagle 102″ diawaki CDR Hank Kleeman /LT Dave Venlet. Sedang pesawat lain bercall-sign “Fast Eagle 107″ dikendalikan oleh LT “music”Muczynski/LT JG “Amos” Anderson. Skuadron ini berpangkalan di kapal induk USS Nimitz. Kedua Tomcat tadi lalu diarahkan untuk mencegat Fitter Libya.
Su-22 milik AU Libya
Secara umum jelas kemampuan Fitter tak bisa disejajarkan dengan Tomcat. Dari konsep perancangannya saja, kedua jenis jet tadi sudah jauh berbeda. Sukhoi melansir Su-22 Fitter untuk keperluan serang permukaan (Ground Attack). Artinya semua piranti elektronik dan persenjataan yang diusung dipakai untuk menghantam sasaran darat. Memang ,rudal anti pesawat juga dibawa Fitter.Namun,harus diingat bahwa rudal tadi hanya sekedar untuk pertahanan diri.
Sebaliknya Grumman mendesain F-14 Tomcat murni bagi keperluan pencegat dan duel di udara. Urusan avionik dan persenjataan juga dibuat untuk menghajar pesawat lawan. Baik jarak jauh maupun jarak dekat. Hanya dalam hitungan menit saja kedua tipe jet tempur beda konsep dan generasi tadi akhirnya masuk dalam radius tempur. Mereka saling berhadapan, head-on, lalu terjadilah aksi duel di udara ,dua rudal antipesawat AA-2 Atoll berpemandu inframerah diluncurkan oleh Fitter ke Arah Tomcat.
Ilustrasi jalannya duel udara antara F-14 Tomcat dan Su-22
Entah karena nekat, panik atau memang tak mengenal karakter teknisnya, kedua rudal tadi malah diarahkan langsung ke bagian muka target. Padahal, Atoll merupakan rudal pencari panas dan belum berkemampuan all-aspect (menghantam dari segala sudut), alhasil kedua rudal tadi gagal mengenai targetnya.
Gagal merontokkan jet AS, kedua Fitter tadi berbelok tajam, melarikan diri. Dengan keunggulan manuver dan kecepatan maka tanpa bersusah payah kedua Tomcat tadi mengunci sasaran dan bisa ditebak, berakhirlah riwayat dua jet Libya itu .Sebuah Fitter rontok oleh AIM-9L Sidewinder, bola api disertai getaran hebat memenuhi Teluk Sidra. Sebuah Fitter yang lain beruntung dapat kembali ke pangkalan meskipun harus rusak berat terkena hantaman AIM-9 L sidewinder.
AA-2 Atoll dan MiG-21 AURI
Sayang tidak ada informasi yang jelas, berapa unit Atoll yang pernah dimiliki AURI pada tahun 1960-an. Sebagai ilustrasi saja, sebuah MiG-21 umumnya menggotong dua Atoll, nah MiG-21 yang dimiliki AURI kabarnya berjumlaah 10 unit. Jadi bila setiap pesawat dibekali dengan dua Atoll, bisa diperkirakan populasi Atoll setidaknya ada 20 unit di Indonesia. Sebagai informasi, MiG-21 F memperkuat AURI sampai tahun 1967.
K-13 masih digunakan hingga generasi MiG-23
Semua varian K-13 secara fisik memang menyerupai Sidewinder dengan diameter 127 mm. Walau berjangkauan 8 kilometer, tapi jarak efektifnya adalah sekitar 1 kilometer. Umumnya negara-negara sekutu Uni Soviet menggunakan Atoll sebagai alutsista andalan. Versi lisensi Atoll dibuat di Rumania dengan kode A-91. Versi Republik Rakyat Cina untuk K-13 adalah PL-2, serta PL-3 dan PL-5 untuk versi yang lebih mutakhir. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Spesifikasi K-13
Produksi : Vympel
Panjang : 2,8 meter
Lebar Sayap : 0,53 meter
Diameter : 0,12 meter
Kecepatan : 2,5 Mach
Jangkauan : 6,5 – 8 Km
Pengarah : passive infra-red homing or semi-active radar homing
Hulu ledak : proximity-fuzed blast fragmentation, 6 kg
Tenaga : solid propellant rocket motor

h1

Rapier : Berjaya di Malvinas Jadi Andalan TNI 2 Dekade

29/03/2011

Dampak perang Malvinas yang terjadi pada tahun 1982 nyatanya ikut memicu perkembangan militer TNI (dahulu ABRI). Diantara beragam kisah unggulnya alutisista Inggris melawan militer Argentina, terdapat sista pertahanan udara (hanud) yang menarik hati pemerintah Indonesia pada masa itu, tak lain adalah rudal Rapier buatan pabrik British Aerospace.
Rapier adalah rudal darat ke udara (SAM/surface to air missile) yang berperan untuk menghancurkan sasaran pesawat tempur yang berkecepatan tinggi. Kecepatan luncur rudal ini bisa mencapai 2,5 Mach, terbilang handal untuk melahap target pesawat tempur yang bermanuver tinggi. Selama kancah perang Malvinas, setidaknya Rapier sudah merontokkan 14 pesawat tempur Argentina. Rapier sejatinya adalah rudal pertahanan udara jarak pendek (short range), maka itu Rapier amat pas menghajar sasaran yang terbang rendah dengan kecepatan tinggi.
Satu satuan tembak (satbak) Rapier umumnya terdiri atas peluncur berisi empat rudal, penjejak optik, panel kontrol, dan catu daya (genset). Mulanya sistem ini dirancang untuk menghadapi serangan pesawat yang terbang rendah dan cepat, dalam jumlah banyak di siang hari. Tapi, yang dibeli Indonesia nyatanya diberi perlengkapan tambahan berupada radar blindfire. Radar blindfire memungkinkan Rapier tetap ampuh pada melahap sasaran di malam hari. Keampuhan Rapier dengan blindfire ini, agaknya, cukup meyakinkan.
Rapier milik Arhanud TNI AD, terlihat peluncur ditarik dengan jip Land Rover
Rapier mulai dikembangkan pada tahun 1960-an sebagai proyek ET.316, dan mulai masuk operasional di AD Inggris pada tahun 1971. Saat pertama kali dicoba, akhir tahun 70-an, Rapier berhasil menghantam target yang terbang melaju pada kecepatan 0,6 Mach (0,6 kali kecepatan suara) di ketinggian 600 meter. Dalam operasionalnya, Rapier tak akan menghantam pesawat sendiri di tengah kekacauan perang. Sebab, rudal dengan bobot 42 kg ini memiliki sarana elektronik IFF (Identification Friend or Foe). Artinya, sistem Rapier dilengkapi dengan pengirim sinyal radio dalam bentuk kode yang harus dliawab secara otomatis, dengan kode yang telah ditentukan. Bila pesawat yang ditemukan radar memberi kode yang benar, radar pun akan bergerak mencari sasaran lain. Bila tidak, alarm berbunyi dan rudal pun siap ditembakkan.
Rapier sedang dipersiapkan oleh awak AD Inggris (Royal Army)
Ilustrasi aksi Rapier dalam perang Malvinas
Operator Rapier mempunyai dua pilihan, mengendalikan rudal dengan tangan atau menyerahkannya pada radar. Untuk pengendalian dengan tangan, tersedia tongkat yang dapat digerakkan ke segala arah yang diinginkan. Bila sasaran berada dalam jarak tembak, komputer akan memberi tanda, dan rudal pun ditembakkan. Melalui layar televisi, operator memastikan rudal menghantam sasaran dengan menggerakkan tongkat. Hulu ledak rudal ini hanya akan meledak bila mengenai sasaran. Keunggulan lain dari Rapier adalah sistemnya bisa digelar oleh tiga orang dalam tempo kurang dari 15 menit .
Rapier di Indonesia
Selain kepincut karena battle proven saat perang Malvinas, alasan TNI mengadopsi rudal ini karena Rapier telah banyak digunakan oleh banyak negara, terutama negara NATO. Dan dikawasan ASEAN, Indonesia adalah negara ketiga yang membeli Rapier, setelah Brunei Darussalam dan Singapura. Keseragaman di bidang persenjataan antar negara tetangga kala itu menjadi pertimbangan penting, diharapkan dengan memiliki standar alutsista yang sama, maka program kerjasama akan mudah dilakukan bila suatu saat diperlukan.
Bentuk utuh rudal Rapier
Towed Rapier milik AD Singapura
Menurut informasi dari Majalah Tempo (22 Desember 1984), kontrak pembelian Rapier dilakukan pemerintahh RI lewat Departemen Pertahahan pada bulan pertengahan bulan Desember 1984. Disebutkan kontrak pembelian Rapier saat itu sekitar Rp 125 milyar. Pihak British Aerospace akan mengirim sejumlah unit rudal Rapier mulai tahun berikutnya.
Menurut informasi tak resmi, Indonesia membeli sebanyak 51 launcher (peluncur) Rapier. Rudal canggih ini pun langsung ditempatkan untuk menjaga obyek vital, seperti di Arun (NAD), Cikupa (Jawa Barat), Karang Ploso (Malang-Jawa Timur), Bontang (Kalimantan Timur) dan Dumai (Riau). Untuk pengoperasian rudal ini dipercayakan pada Satuan Artileri Perthanan Udara (Arhanud) TNI AD. Unit Arhanud TNI AD yang mengoperasikan Rapier diantaranya Detasemen Arhanud (Denarhanud) Rudal 001 di Kodam Iskandar Muda, Denarhanud Rudal 002 di kodam VI/Tanjungpura, Denarhanud Rudal 003 di Kodam Jaya dan Denarhanud Rudal 004 di kodam I/Bukit Barisan. Rudal ini kabarnya baru mulai operasional di Indonesia pada tahun 1987.
Rapier Arhanud TNI AD dalam sebuah defile
Radar Blindfire
Setiap Denarhanud terdiri dari 11 (sebelas) satbak Rudal Rapier, komposisi ini dicontohkan pada Denarhanud Rudal 002. Setiap satbak Rapier terdiri dari :
1. Peluncur (Launcher).
2. Penjejak Optik (Optical Tracker).
3. Alat Bidik Bantu (Pointing Stick).
4. Unit Pengendali Taktis (SEZ = Selector Engagement Zone).
5. Sarana Peyakin Operator (OCF = Operator Confidence Facility).
6. Rudal (Missile).
7. Generator (GSGE = Generator Set Gasoline Engine).
Selain itu 1 (satu) satbak Rapier juga dilengkapi dua unit kendaraan penarik jenis Land Rover 110 yang terdiri dari 1 (satu) unit FUT (Firing Unit Truck) dan 1 (satu) unit DSV (Dettachment Support Vehicle). Tiap satbak Rapier diawaki oleh depalan orang personel, terdiri dari 1 (satu) orang Komandan Satuan Tembak (Dansatbak), 1 (satu) orang Bintara Satuan Tembak (Basatbak), 2 (dua) orang Bintara Penembak (Babak), 2 (dua) orang Tamtama Operator (Taop) dan 2 (dua) orang Tamtama Pengemudi (Tamudi).
Land Rover penarik peluncur Rapier
Rapier juga digunakan AD Inggris dalam platform kendaraan lapis baja
Untuk menambah kemampuan deteksi, tiap Denarhanud dilengkapi satu unit Radar Radar Giraffe yang merupakan Radar Peringatan Setempat sekaligus Radar Pengendali Pertempuran bagi Satbak-Satbak Rudal Rapier. Radar Giraffe dapat menangkap 9 (sembilan) sasaran sekaligus, dan dapat membaginya ke Satbak-Satbak Rudal Rapier secara terintegrasi. Radar Giraffe yang ada di satuan Denarhanud Rudal-002 Dam VI/Tpr ditempatkan di atas kendaraan Truck 16 Ton merk Volvo.
Radar Giraffe milik satuan Arhanud TNI AD
Mengingat bahwa Satbak Rudal Rapier mempunyai sifat-sifat yang khusus, maka daerah gelar Satbak Rudal Rapier harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.Medan harus cukup luas dan keras untuk menggelar semua peralatan.
2. Jalan pendekat (masuk dan keluar) cukup baik.
3. Mempunyai sektor tembakan yang tidak terhalang.
4. Jauh dari tegangan tinggi minimal 300 meter.
5. Kemiringan tempat gelar daripada Launcher (Peluncur) tidak boleh lebih dari ± 90 mil (± 5º ).
6. Sudut elevasi antara Launcher dengan Optical Tracker tidak boleh lebih dari ± 180 mil (± 10º).
7. Jarak antara Launcher dengan benda-benda yang mudah terbakar atau gedung-gedung ± 10 meter.
8. Jarak antara Launcher dengan Runway dan Taxiway ± 30 meter.
Sudah Pensiun
Karena usian yang tua, kini arsenal Rapier telah dinyatakan pensiun dari kedinasan dan disimpan dalam depo TNI AD. Hal ini didasarkan Rapier telah melewati batas Lost Point maksimal sehingga sudah tidak aman lagi untuk ditembakkan, ini berdasarkan Surat Telegram Danpussenart Nomor ST/62/2002 tanggal 15 Agustus 2002 tentang larangan untuk menembakkan Missile Rudal Rapier yang masih tersisa. Sebagai penggantinya, tiap Denarhanud TNI AD kini mengoperasikan kanon 23 mm/Zur komposit dengan Rudal Grom yang merupakan senjata anti pesawat udara buatan Polandia.
Rapier kini sudah pensiun dalam kedinasan Arhanud, Rapier saat ini masih disimpan dalam depo
Rapier Next Generation
Melihat kisah sukses Rapier, pihak manufaktur rudal ini pun mengembangkan spesifikasi Rapier menjadi “Rapier 2000”. Rapier anyar ini ditawarkan oleh MBDA (perusahaan hasil merger dari British Aerospace, Aerospatiale Matra Missile dan Finmeccanica). Diantara fitur yang ditawarkan Rapier 2000 adalah integrasi sistem peluncur Jernas. Jernas menjadikan unit Rapier tampil lebih ringkas, dalam satu peluncur sudah terintegrasi generator dan optical tracker. Selain Inggris, Jernas saat ini digunakan oleh AD Malaysia. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Jernas Rapier 2000, peluncur dapat mengusung 8 rudal sekaligus
Spesifikasi Rapier
Mesin : Roket berbahan bakar padat
Berat : 45 Kg
Panjang : 2,235 meter
Diameter : 0.133 meter
Kecepatan : 2,5 Mach
Jangkauan : 400 – 6,800 meter
Ketinggian : 3000 meter
Hulu ledak : Peledak fragmentasi
Platform peluncur : kendaraan darat
Negara pengguna : Inggris, Indonesia, Turki, Malaysia, Swiss, Singapura, dan Australia
h1

AT-5 : Rudal Anti Tank BVP-2 Marinir

20/01/2011

Korps kavaleri Indonesia bisa dibilang punya beragam ranpur, tapi rasanya masih agak tertinggal untuk urusan persenjataan, semisal di segmen rudal anti tank, belum ada satu pun ranpur kavaleri TNI yang dibekali rudal penghancur tank. Baru semenjak kehadiran tank BVP-2 kavaleri di Tanah Air mengenal rudal anti tank dari jenis AT-5 Spandrel.
Sebagai rudal anti tank, AT-5 dapat dipasang di berbagai ranpur, baik dari jenis tank, panser sampai jip. Pada BVP-2 Korps Marinir, AT-5 ditempatkan pada bagian atas kubah kanon 30 mm BVP-2. Rudal ini terbilang mudah untuk dibongkar pasang, ini tak lain berkat komponen kontainer rudal yang relatif ringan dari bahan fiberglas.
AT-5 Spandrel
Sejatinya AT-5 bukan rudal anti tank anyar, AT (anti tank) -5 Spandrel merupakan identitas yang diberikan oleh pihak NATO. Identitas asli rudal ini adalah 9M113 Konkurs dan rudal ini mulai dikembangkan pada era perang dingin. Desain AT-5 sudah dimulai sejak tahun 1962, dan jenis ATGM (anti tank guided missle) ini resmi mulai dioperasikan pada tahun 1974. Dengan desain yang ringkas, memungkinkan AT-5 dioperasikan secara portabel oleh personel infantri sekalipun.
Sistem kerja rudal ini menggunakan generator gas untuk mendorong rudal keluar dari tube kontainer. Saat rudal ditembakkan, semburan gas akan memacar dari belakang tube. Performa AT-5 cukup dahsyat, saat keluar dari tube, rudal memiliki kecepatan luncur 80 meter per detik dan secara cepat meningkat jadi 200 meter per detik. Hal tersebut bisa dicapai berkat dukungan solid fuel motor.
AT-5 mudah digelarsecara portable
Selama rudal meluncur hingga menghajar target, rudal akan berputar lurus antara 5 sampai 7 kali per detik. Sedangkan jarak tembak efektif rudal ini mulai dari jangkauan 70 meter hingga 4 Kilometer. Untuk jenis bahan peledaknya, AT-5 mengusung tandem HEAT (High Explosive Anti Tank).
Tabung peluncur AT-5 pada kubah tank BVP-2 Korps Marinir
Walau bukan rudal anti tank keluaran terbaru, tapi AT-5 punya segudang pengalaman tempur. Salah satunya pada tahun 2006 lalu, rudal ini menjadi dewa maut di tangan pejuang Hizbullah. Terbukti rudal ini mampu mengkandaskan beberapa MBT (Main Battle Tank) Israel dari jenis Merkava di zona konflik Lebanon.
AT-5 produksi Iran
Selain menjadi senjata “wajib” untuk negara-negara sekutu Rusia, menurut Wikipedia.com, Amerika Serikat juga menggunakan rudal ini untuk keperluan latihan. AT-5 diproduksi oleh Tula Machinery Design Bureau di Rusia. Terbukti bandel di medan perang, rudal ini juga dibuat oleh Iran dengan label Towsan-1/M113. Varian AT-5 yang diproduksi Iran inilah yang konon digunakan oleh pejuang Hizbullah saat melawan tank Israel. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Spesifikasi AT-5
Berat : 14,6 Kg
Panjang : 1,15 Meter
Diameter : 13,5 Cm
Sistem Peluncuran : wire guided SACLOS (Semi-Automatic Command to Line of Sight)
Moda Peluncuran : perorangan atau dari kendaraan tempur.
Mesin : solid-fuel rocket
Lebar sayap : 46,8 Cm
Jarak Jangkau : 70 meter sampai 4 Km
Kecepatan : 200 meter per detik
h1

Mistral : Andalan Pertahahan Udara Frigat TNI AL

26/10/2009
Tetral tampak di atas ruang navigasi KRI Diponegoro 365
Tetral tampak di atas ruang navigasi KRI Diponegoro 365
Bila Arhanud TNI AD punya rudal Grom, maka TNI AL untuk memperkuat pertahanan pada armada frigatnya juga mengandalkan rudal SAM jenis Mistral. Antara Grom dan Mistral pun sejatinya punya banyak kesamaan, kedua rudal SAM ini masuk kategori SHORAD, rudal ringan untuk sasara jarak pendek. Lebih dari itu, Grom dan Mistral juga mengusung basis platform Manpad (man portable), alias rudal yang pengoperasiannya bisa dilakukan dengan dipanggul oleh seoeang prajurit.
Mistral dibuat oleh pabrikan MBDA missile systems yang berbasis di Perancis. Rudal ringan ini mulai dirancang sejak tahun 1974, dan baru benar-benar operasional pada tahun 1988 untuk versi pertamanya (S1), dan di tahun 1997 diluncurkan versi keduanya (M2). Meski masuk segmen Manpad yang mobile, Mistral dalam pengoperasiannya harus menggunakan penyangga, serupa dengan rudal RBS-70 TNI AD, ini lantaran bobot 1 unit Mistral yang mencapai 18,7 kg.
Tetral pada buritan KRI Diponegoro
Tetral pada buritan KRI Diponegoro
Mistral terbilang kaya modifikasi, selain bisa dioperasikan secara Manpad, Mistral juga amat pas dipadukan dengan teknologi sistem peluncur, artinya Mistral mampu dijalankan secara remote untuk mengejar target. Untuk sistem peluncurnya, TNI AL diketahui memiliki Mistral dengan dua platform, yakni Tetral dan Simbad. Tetral merupakan platform peluncur yang k atas 4 unit Mistral, sistemnya dapat bekerja otomatis, dikendalikan secara remote, dan tergolong low maintenance. Desain Tetral memang dirancang oleh MBDA untuk dipasang pada jenis kapal perang yang menganut konsep stealth. Dan bisa ditebak, Tetral memang menjadi andalan frigat TNI AL dari kelas SIGMA (Ship Integrated Geometrical Modularity Approach) yang dibeli dari galangan Schelde Naval Shipbuilding, Belanda. Frigat dengan desain stealth. Pada tiap frigat SIGMA dilengkapi dua sistem peluncur, masing-masing peluncur memuat empat rudal. Dalam pengoperasiannnya, Tetral dikendalikan dari PIT (pusat informasi tempur).
Sistem peluncur Simbad yang dioperasikan manual
Sistem peluncur Simbad yang dioperasikan manual
Platform peluncur kedua untuk Mistral yang digunakan TNI AL adalah Simbad. Simbad merupakan platform peluncur untuk dua rudal Mistral dan dioperasikan secara manual oleh operator (Manpad). Simbad saat ini dipasang pada frigat TNI-AL kelas Van Speijk. Hadirnya Mistral di frigat Van Speijk sebagai pengganti rudal SAM jenis Sea Cat yang usianya sudah lawas. Meski belum serempak digunakan oleh semua frigat Van Speijk TNI AL, paling tidak dipastikan KRI Karel Satsuitubun (356) sudah terlihat memasang Simbad pada bekas dudukan peluncur Sea Cat.
Meski tergolong rudal ringan jarak pendek, Mistral bisa melahap multi target, termasuk target yang bermanuver cepat, dalam hal ini seperti pesawat tempur dan helikopter, bahkan Mistral dengan kecepatan luncurnya yang 800 meter per detik bisa melahap target berupa rudal. Dalam rilis yang dikeluarkan MBDA, tingkat success rate Mistral Tetral mencapai 93 persen. Untuk menghajar target, rudal ini dilengkapi kendali berupa canard dan sistem sensor pengarah berupa passive IR (infra red) homing. Sensor passive IR akan bekerja 2 detik setelah peluncuran.
Sistem peluncur Sadral pada fregat AL Perancis
Siatem peluncur Sadral pada fregat AL Perancis
Mistral terbilang kaya ragam platform peluncur, selain di kapal perang dan Manpad, Mistral juga laris diupasang pada berbagai kendaraan militer di darat, bahkan Perancis menggunakan Mistral sebagai senjata pamungkas di helikopter Tiger dan Gazelle. Dengan bobot peledak 3 kg, dan jangkauan tembak hingga 5,3 km membuat rudal ini ideal dipasang pada beragam platform. Selain Indonesia, di kawasan Asia Tenggara rudal ini juga dimiliki oleh Singapura. Tercatat sejak 1989, Mistral sudah di ekspor ke 25 negara dengan produksi lebih dari 16.000 unit rudal.
Selain Simbad dan Tetral, sebenarnya masih ada platform peluncur lain, yakni Sadral. Sadral pada prinsipnya mirip dengan Tetral, dimana sistem rudal diluncurkan secara remote otomatis dari PIT. Bedanya Sadral mengusung enam peluncur rudal Mistral. Baik Simbad, Tetral dan Sadral, ketiganya dapat cepat untuk diisi ulang dan dapat ditebakkan secara salvo. TNI AL pada 20 April 2011 telah melakukan uji coba penembakkan Mistral denga target berupa rudal Sea Cat. Mistral dilepaskan dari KRI Hassanuddin (366) yang merupakan bagian dari armada frigat kelas SIGMA. Jadi bisa dipastikan Mistral dilepas dari platform peluncur Tetral. (Haryo Adjie Nogo Seno)

Spesifikasi Mistral – Simbad

Panjang : 1,86 meter
Diameter : 90 mm
Berat : 18,7 kg (termasuk 3 kg hulu ledak high explosive)
Kecepatan luncur : 800 m/detik atau 2,6 Mach
Jangkauan : efektif hingga 5,3 km
Sistem pemandu : infra red
Mekanisme peledakan : laser proximity atau impact triggered
Mesin : solid rocket motor
Spesifikasi Tetral
Berat Sistem Peluncur : 600 Kg (termasuk 4 rudal)
Bearing : 310 derajat
Sudut Elevasi : -16 sampai 75 derajat
h1

Yakhont : Rudal Jelajah Supersonic TNI-AL

19/10/2009
Yakhont juga diproduksi secara lisensi oleh India, dengan nama Brahmos
Yakhont juga diproduksi secara lisensi oleh India, dengan nama Brahmos
Ada kabar gembira di tengah berita minimnya perkembangan persenjataan Indonesia. Pasalnya TNI-AL kini sudah membeli rudal supersonic terbaru untuk menambah kemampuan (fire power) pada kapal-kapal perang. Rudal tersebut adalah SS-N-26 Yakhont buatan Rusia. Rudal di mempunyai kode P-800/SSN-X-26. Beberapa kehandalan Yakhont yang tak dimiliki rudal anti permukaan TNI-AL sebelumnya adalah Yakhont mempunyai kecepatan maksimum hingga 2,5 Mach. Ditambah lagi Yakhont punya jangkauan tembak sangat jauh, tak tanggung-tanggung 300 Km. Dua kemampuan tadi yang hingga kini belum dimiliki jajaran rudal anti kapal TNI-AL. Seperti diketahui TNI-AL mempunyai rudal Exocet MM30/40, Harpoon dan C802. Tapi dibalik itu, Yakhont mempunyai bobot dan dimensi yang terbilang bongsor di kelasnya. Harga satu unit Yakhont ditaksir sekitar US$ 1,2 juta.
Untuk pertama kalinya pada hari Rabu, 20 April 2011, sebuah rudal Yakhont berhasil di ujicoba tembak oleh TNI AL di perairan Samudera Hindia. Lewat ujicoba ini akhirnya ditehaui penempatan Yakhont, yakni di jenis frigat TNI AL kelas Van Speijk buatan Belanda. Saat ujicoba 20 April, Yakhont diluncurkan dari KRI Oswal Siahaan (354). Dalam ujicoba, sasaran tembak Yakhont berada di lintas cakrawala, yakni menghantam target dengan jarak 135 mil laut atau sekitar 250 km. Target Yakhont adalah eks KRI Teluk Bayur (502), sebuah LST (landing ship tank) keluaran tahun 1942 yang dibuat di Amerika Serikat.
Menganut Konsep VLS
Inilah rudal permukaan pertama milik TNI, khususnya TNI AL yang meluncur secara VLR (vertical launching system), artinya saat rudal meluncur dari “sarangnya” dalam posisi tegak lurus. Beda dengan rudal-rudal yang sebelumnya, dimana model peluncuran rudal dengan konsep melintang, seperti Exocet dan C-802. Hal ini kabarnya dilakukan lantaran untuk menghemat ruang, ukuran Yakhont bisa dibilang super jumbo dan berat, jauh lebih besar dari rudal-rudal TNI AL yang ada saat ini. Bila dipaksakan dengan konsep meluncur melintang, bisa dipastikan frigat sekelas Van Speijk hanya akan mampu menggotong dua Yakhont.
Namun, berkat adopsi konsep VLS, setidaknya satu frigat Van Speijk bisa membawa 4 unit Yakhont. Adopsi peluncuran rudal secara VLS juga lumrah dilakukan oleh armada firigat/destroyer US Navy, khususnya saat meluncurkan rudal Tomahawk, sebuah rudal jelajah yang juga berukuran bongsor.
Proses loading Yakhont kedalam tabung peluncur VLS
Dengan sistem VLS, saat pertama kali meluncur, Yakhont dilontarkan ke udara dengan metode cold launch. Sesaat setelah rudal keluar dari tabung, motor roket menyala mendorong tubuh rudal berbobot 3 ton ini hingga ketinggian 200 meter. Kemudian roket kecil pada hidung rudal akan mengarahkan rudal ke sasaran. Gerakan Yakhont terbilang unik, setelah terbang ia akan menanjak hingga ketinggian 14-15 km, hal ini tergantung pula pada jarak sasaran, utamanya hal tersebut dilakukan bila sasaran berada pada jarak diatas 120 Km.
Kubah penutup rudal Yakhont
Fire Control System
Sebelum rudal bisa melesat ke sasaran, terlebih dahulu dilakukan berbagai persiapan, diantaranya mengecek gyro, speedlog, dan GPS. Kemudian memasuki tahap penembakkan, kru harus memasukan pengecekan FCS (fire control system) dan sistem pendukung pendinginan setelah rudal meluncur. Lalu tahap terakhir, data referensi posisi (lintang dan bujur) dimasukan ke dalam FCS, termasuk data kapal penembak berupa main error of ship position. Dalam uji coba, Yakhont berhasil mennghancurkan target KRI Teluk Bayur dengan jarak 250 Km.
Di udara rudal akan terbang dengan kecepatan 2,5 Mach. Rudal akan kembali turun hingga ketinggian 10-15 meter (sea skimming) di atas permukaan laut. Nah, saat rudal berjarak 50 Km dari sasaran, seeker radar akan bekerja untuk memilih sasaran yang ditentukan. Jika data benar, maka target akan di lock on. Hebatnya untuk mengindari jamming dari musuh, seeker pada kepala rudal tidak menyala terus-menerus, terkadang bisa mematikan diri agar tak terlacak lawan. Pada jarak 10 Km dari sasaran, rudal akan kembali mengambil data secara horizontal dan vertical. Data sasaran secara vertical kembali diambil ketika jarak sasaran tinggal 3 Km. Pada tahap terakhir rudal akan terbang pada ketinggian 5 meter diatas permukaan laut, dan rudal pun akan meluncur menghantam sasaran.
Keterbaatasan Elemen OTHT
Bila TNI AL sudah punya rudal jelajah canggih, sayangnya untuk elemen OTHT (Over The Horizon Target) masih belum memadai. TNI AL sampai saat ini belum mempunyai pesawat atau helikopter berkempuan OTHT. Alhasil untuk misi penembakkan Yakhont, untuk suplai data sasaran dilakukan lewat kapal selam, dalam hal ini KRI Cakra.
Tekait OTHT, beberapa tahun lalu sebenarnya TNI AL sempat berencana membeli helikopter NBO-105CB dengan kemampuan radar OTHT, sayang meski targetnya cuma beli 3 unit, pembelian itupun akhirnya tidak ada kabarnya lagi hingga saat ini. Padahal AL Mexico cukup sukses menggunakan jenis BO-105 OTHT. Sekilas mengenai BO-105 OTHT, bila sedianya jadi dimiliki TNI AL, helikopter ini akan memiliki radar berkekuatan 76 Nm (nautical mile), kemampuan ini semakin mumpuni karena dipasangnya ESM (electronic support measure). Hidungnya ditempeli nose radome yang dimuati radar ocean master buatan Thomson-CSF dari Perancis. Untuk misi intai taktis masih didukung avionik (HF hoaming, VOR, DME, RALT) dan perangkat sistem navigasi (radar pencari, IFF transponder, GPS, AHRS, dan SAS).
BO-105 dengan radar OTHT
BO-105 OTHT milik AL Mexico, selain diliengkapi OTHT juga dipersenjatai kanon Aden 20 mm
Proses peluncuran Yakhont dari KRI Oswald Siahaan
Posisi penutup tabung peluncur Yakhont di frigat Van Speijk TNI AL
Menurut informasi dari situs Kementrian Pertahanan RI, saat ini 16 KRI sudah dipasang rudal Yakhont, yaitu enam pada kapal jenis frigat dan 10 di kapal perang Korvet. Pemasangan dilakukan sepenuhnya oleh PT PAL Surabaya dengan dukungan tim ahli dari Rusia.
Dengan segala kelebihan dan kecanggihannya, Yakhont pastinya akan menjadi daya getar militer Indonesia meningkat. Apalagi disebut-sebut sampai saat ini belum ada satupun senjata anti rudal yang mampu menangkis serangan Yakhont. Rusia sendiri memang merancang rudal ini untuk membungkam sistem AEGIS dari AS. Terlebih sampai saat ini, baru Indonesia dan Vietnam, negara di luar Rusia yang menggunakan Yakhont, jelas menambah angker kekuatan laut kita. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Ciri khas Yakhont dilengkapi air intake mirip pesawat tempur MIG era masa lalu
Ciri khas Yakhont dilengkapi air intake mirip pesawat tempur MIG era masa lalu
Brahmos/Yakhont dalam sebuah parade militer di India
Brahmos/Yakhont dalam sebuah parade militer di India
Model truck pengangkut/pelontar Yakhont
Model truck pengangkut/pelontar Yakhont
Pola Penembakan Yakhont dari kapal perang
Pola Penembakan Yakhont dari kapal perang
Pola penembakan Yakhont dari daratan ke laut
Pola penembakan Yakhont dari daratan ke laut

Spesifikasi Yakhont

Negara Pembuat : Rusia
Pabrikan : Beriev
Jangkauan Tembak : 300 Km pada manuver jelajah tinggi
120 Km pada menuver jelajah rendah
Kecepatan : 2 – 2,5 Mach
Ketinggian Terbang : 5 – 15 meter (fase terakhir sebelum mengenai target)
Berat Bahan Peledak : 200 Kg
Pengarah Navigasi : aktif pasif radar seeker head
Jangkauan Tembak Minimum : 50 Km
Propulsi : solid propellant booster stage dan liquid propellant ramjet sustainre motor
Media Peluncuran : dari bawah air, kapal permukaan dan dari daratan
Berat : Rudal 3,000 Kg
Rudal plus kontainer 3,900 Kg